KPI vs “Feminisme”

18:11:00 It's Leblung 0 Comments

Pada tanggal 23 Februari 2016 yang lalu, KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia secara resmi mengeluarkan surat edaran mengenai larangan bagi seluruh Direktur Utama Lembaga Penyiaran untuk menayangkan siaran yang mengandung unsur “feminisme”. “Feminisme” di sini diartikan sebagai perilaku pria yang menyerupai wanita. Surat edaran yang bernomor 203/K/KPI/02/16 tersebut meminta kepada Direktur Utama Lembaga Penyiaran untuk tidak menampilkan host (pembawa acara), talent, maupun pengisi acara lainnya (baik pemeran utama atau pemeran pendukung) dengan tampilan sebagai berikut:
  1. Gaya berpakaian kewanitaan
  2. Riasan (make-up) kewanitaan
  3. Bahasa tubuh kewanitaan, termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan maupun perilaku lainnya
  4. Gaya bicara kewanitaan 
  5. Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan
  6. Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita
  7. Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan
Komisioner KPI, Agatha Lily, seperti yang dilansir oleh www.tinoberita.blogspot.com, mengatakan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi penonton usia anak-anak dan remaja agar tidak mencontoh perilaku-perilaku “feminisme” tersebut. Bukan Indonesia namanya jika suatu larangan tidak dibarengi dengan pro kontra yang cukup panas, alot, memeras otak, dan menguras tenaga. Hhe. Berbagai kalangan baik anggota DPR, artis, maupun pendukung dan pelaku LGBT angkat suara untuk menyatakan opininya. Ya. Sebuah babak drama baru dimulai, “KPI vs Feminisme.”



Pada dasarnya feminisme pada seorang pria dapat diakibatkan oleh 3 faktor, yaitu:

1.    Biogenik
Feminisme akibat faktor biologis. Pada tubuh pria yang memiliki feminisme berlebih tersebut, hormon kewanitaan tumbuh dan diproduksi lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan faktor genetik. Dampak yang ditimbulkan akibat pertumbuhan hormon-hormon kewanitaan secara berkelanjutan adalah perasaan bahwa pria tersebut merupakan seseorang yang tidak dapat dikatakan pria seutuhnya (tulen), namun juga tidak dapat disebut sebagai seorang wanita. Oleh karena itu, seorang pria dengan kondisi seperti ini cenderung binggung untuk menentukan identitas atau jati diri sebenarnya. Selanjutnya, faktor lingkungan dan kondisi psikologis akan sangat berdampak pada penentuan jati diri pria tersebut.

2.    Psikogenik
Feminisme berlebih pada seorang pria juga dapat dikaitkan dengan pengalaman psikologis pada saat masa kanak-kanak. Misalkan pengalaman tidak menyenangkan dari ayah, saudara laki-laki atau situasi lain yang menimbulkan pemikiran bahwa menjadi wanita itu lebih baik dan lebih menyenangkan. Hal ini nantinya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepribadian si anak. Sehingga dimungkinkan ia akan menumbuhkan sisi feminimismenya.

3.    Sosiogenik
Feminisme juga dapat diakibatkan oleh pengaruh lingkungannya. Lingkungan yang mendukungnya untuk menjadi wanita dapat mengakibatkan seseorang berubah menjadi pria dengan feminisme berlebih. Seperti yang dilansir pada www.wesleysinagabonar.wordpress.com berdasarkan wawancara langsung dengan kaum feminisme di Jawa Tengah, 2 dari 4 waria yang diwawancara memiliki sisi feminisme akibat lingkungannya.


Feminisme tipe sosiogenik inilah yang disasar oleh KPI untuk ditekan pertumbuhannya. Mengapa? Saat siaran televisi yang menyiarkan seorang pria dengan sisi feminisme berlebih, diberi peran khusus, diberi dukungan (sorak sorai penonton, dan tawa riuh) besar akan dapat menimbulkan satu pemikiran kurang benar di otak anak-anak dan remaja. “Feminisme memiliki nilai lebih.” Selanjutnya hal ini akan mendorong anak-anak laki-laki yang pada dasarnya tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis sebagai laki-laki seutuhnya, untuk berubah menjadi laki-laki dengan feminisme berlebih. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendapatkan perhatian atau penghargaan dari orang-orang di sekitarnya.

Anggapan-anggapan sepele seperti, “Ah. Kan akting semata untuk menjadi pria feminin.” Wait. Kebiasaan-kebiasaan kecil untuk menunjukkan sisi feminin memang terasa biasa dan bisa jadi hanya sebagai lelucon belaka untuk menarik perhatian. Namun, ketika hal tersebut terus menerus dilakukan, stigma atau pemikiran “Orang-orang lebih suka saya seperti ini (pria tapi feminin)” akan muncul dengan mudah.
Hal tersebut didukung oleh teori Hirarki Kebutuhan yang dicetuskan oleh Abraham Maslow. Menurutnya, manusia memiliki 5 kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yaitu:

1.    Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan paling dasar dari seorang manusia adalah kebutuhan fisiologis yang berpengaruh untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Contoh kebutuhan fisiologis adalah makan, minum, tidur, oksigen, dan seks.

2.    Kebutuhan akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, selnajutnya seorang manusia memerlukan rasa aman untuk bertahan hidup. Rasa aman yang dimaksudkan adalah rasa aman untuk melakukan kehidupan fisiknya secara normal tanpa takut akibat perang, ancaman dari pihak luar, penyakit, kecemasan, dan lain-lain.

3.    Kebutuhan akan Kasih Sayang
Kebutuhan rasa kasih sayang pada dasarnya adalah kebutuhan akan rasa aman dari segi psikologis. Kebutuhan ini meliputi dorongan untuk bersahabat, keinginan memiliki pasangan yang saling mengasihi, dan kebutuhan untuk dekat pada keluarga. Kebutuhan ini menyangkut hubungan dengan orang lain dimana terdapat proses memberi dan menerima secara seimbang.

4.    Kebutuhan akan Penghargaan
Setelah kebutuhan dicintai dan dimiliki tercukupi, manusia akan bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan. Maslow menemukan bahwa setiap orang yang memiliki dua kategori mengenai kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih tinggi. Kebutuhan yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain, kebutuhan akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan, perhatian, reputasi, apresiasi, martabat, bahkan dominasi. Kebutuhan yang tinggi adalah kebutuhan akan harga diri termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi, penguasaan, kemandirian dan kebebasan. Sekali manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk dihargai, mereka sudah siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri, kebutuhan tertinggi yang ditemukan Maslow.

5.    Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini tidak melibatkan keseimbangan namun melibatkan keinginan yang terus menerus tumbuh untuk memenuhi potensi diri.

Nah. Saat pemikiran bahwa ia akan lebih disukai dan dihargai saat bersikap feminin muncul, ia akan terus menerus melakukan, berlaku dan bersikap layaknya wanita seutuhnya. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan akan penghargaan seperti yang diutarakan oleh Maslow. Akhir dari fase tersebut adalah rasa nyaman yang timbul seperti ketika ia menjadi diri sendiri seutuhnya. Saat rasa ini timbul, maka ucapan selamat tinggal pada kepribadian prianya ada di pelupuk mata.

Oleh karena itu, bukan menjadi sebuah hal yang perlu ditentang dengan nada tinggi dan otot besi. KPI hanya sedang berusaha menyelamatkan anak-anak dan remaja dari tragedi “berubah karena orang lain.” Karena mereka, para penonton usia dini tersebut bukan hanya dari kalangan yang hidup dengan penuh cinta dari kedua orang tua, dari saudara, dan dari teman-teman di sekitarnya. Mereka yang kebutuhan akan rasa sayang, rasa cinta dan dimiliki tidak terpenuhi dengan baik, akan cenderung mudah untuk berubah ketika ada kehebohan atau penghargaan berlebih dari orang-orang sekitar dengan melakukan sesuatu (dalam hal ini berlaku feminin).

Jadi, dapat saya katakan bahwa KPI tidak sedang menentang anda yang berlaku feminin, tidak sedang membatasi ruang gerak para seniman. Ia hanya menyelamatkan generasi kita, menjadikannya generasi “Be Yourself” atau “Be 100% You”.

Mari berpikir positif, mari menjadi diri sendiri!

You Might Also Like

0 komentar: