Aku, Kau, dan Sepasang Sepatu Usang
Pagi ini langit tak secerah hari-hari sebelumnya. Ada awan hitam yang menggelayut manja di ujung sana. Saya, yang hari itu juga tengah merasa pilu semakin gundah saja. Pergi ke toko buku bekas hampir pasti akan terkena hujan, namun tak pergipun saya akan terserang bosan yang tak kalah menjengkelkan. “Ahh. Bisakah Kau pindahkan toko bukunya ke seberang jalan saja, Tuhan?” Doa yang sama mustahilnya dengan meminta seribu candi dalam semalam. Hhe.
Berbekal sembilu karena malas bertemu hujan, saya nekat pergi. Sambil tak luput menggerutu sesekali.
Tik tok tik tok.
Tunggu, saya baru melihat sepasang sepatu tergeletak sendirian di pinggir jalan tak jauh dari tempat saya berhenti saat ini. Saya melangkah mundur bak Ariel Peterpan di Video Klip Menghapus Jejakmu yang sempat ngehits di tahun 2007. Satu langkah, dua langkah, kuhitung hingga 10 langkah ke belakang. Ya. Sepatu usang itu kini tepat di samping kaki kiriku. Sebuah sepatu sport sederhana, berwarna dasar putih dan dipadu dengan warna biru muda serta sedikit sentuhan pink di bagian mata kaki. Cantik. Tapi usang. Kuperhatikan dengan seksama. Tak ada bagian yang robek sedikitpun. Bentuknya pun masih terbilang sempurna. Oh tunggu. Bagian belakang sedikit penyok akibat injakan si pemilik sebelumnya. Tapi tetap nampak sempurna. Hanya usang. Sangat usang. Debu menebal hampir di seluruh bagian sepatu.
“Milik siapa ini? Sudah tak terpakai?” Saya mengamati daerah sekitar saya berdiri. Itu daerah pertokoan. Kompleks penjual buku bekas yang tak lain adalah tempat saya nongkrong saat yang lain memilih pergi ke bioskop. Tak mungkin ada seseorang yang meletakkan sepatu ini di sini tanpa sengaja. Tak mungkin pula ia membiarkan sepatu ini di sini agar debunya hilang. Tak mungkin dibiarkan di sini untuk di jemur, sebab tak ada tanda-tanda ia habis dicuci atau sekedar dibersihkan sekenanya. Sungguh. Debunya tebal sempurna di sana-sini. Maka kusimpulkan ia tak bertuan. Tak diinginkan dan butuh penyelamat. Meski sebenarnya saya yang memerlukannya karena sudah lama mendamba sepasang sepatu sport warna biru.
“Ya Allah, ini hadiah darimu kan? Sebagai ganti karena Kau tak mengabulkan permintaanku sebelum berangkat tadi?” saya mengumam dalam hati sembari tersenyum simpul. Saya membuka tas jinjing saya, memasukkan sepatu bernomor 37 itu ke dalamnya. Saya tak peduli tas saya menjadi kotor. Sepatu ini terlalu cantik untuk dilewatkan. Saya membalikkan badan. Berjalan pulang. Mengurungkan niat untuk membeli novel karya Fahri Asiza, serial Syakila yang kusuka. Sepatu ini lebih menawan hati.
Hal pertama yang saya lalukan sesampainya di rumah adalah mencuci sepatuuuuu! Yeay. Kunamai ia Bluely. Biar, meski sedikit alay. Saya suka. Biru, cantik, dan terlihat menawan. Cocok untuk jogging maupun hangout. Saya mengambil sikat cuci dan detergen. Satu menit, dua menit, 20 menit berselang. Sepatu ini masih saja terlihat kotor. Saya menyerah. Tangan saya sudah keriput dan panas terkena detergen. Perjuangan hari ini sampai di sini. Saya yakin Bluely bisa kembali putih sempurna. Saya hanya perlu sedikit bekerja keras.
Berbekal sembilu karena malas bertemu hujan, saya nekat pergi. Sambil tak luput menggerutu sesekali.
Tik tok tik tok.
Tunggu, saya baru melihat sepasang sepatu tergeletak sendirian di pinggir jalan tak jauh dari tempat saya berhenti saat ini. Saya melangkah mundur bak Ariel Peterpan di Video Klip Menghapus Jejakmu yang sempat ngehits di tahun 2007. Satu langkah, dua langkah, kuhitung hingga 10 langkah ke belakang. Ya. Sepatu usang itu kini tepat di samping kaki kiriku. Sebuah sepatu sport sederhana, berwarna dasar putih dan dipadu dengan warna biru muda serta sedikit sentuhan pink di bagian mata kaki. Cantik. Tapi usang. Kuperhatikan dengan seksama. Tak ada bagian yang robek sedikitpun. Bentuknya pun masih terbilang sempurna. Oh tunggu. Bagian belakang sedikit penyok akibat injakan si pemilik sebelumnya. Tapi tetap nampak sempurna. Hanya usang. Sangat usang. Debu menebal hampir di seluruh bagian sepatu.
“Milik siapa ini? Sudah tak terpakai?” Saya mengamati daerah sekitar saya berdiri. Itu daerah pertokoan. Kompleks penjual buku bekas yang tak lain adalah tempat saya nongkrong saat yang lain memilih pergi ke bioskop. Tak mungkin ada seseorang yang meletakkan sepatu ini di sini tanpa sengaja. Tak mungkin pula ia membiarkan sepatu ini di sini agar debunya hilang. Tak mungkin dibiarkan di sini untuk di jemur, sebab tak ada tanda-tanda ia habis dicuci atau sekedar dibersihkan sekenanya. Sungguh. Debunya tebal sempurna di sana-sini. Maka kusimpulkan ia tak bertuan. Tak diinginkan dan butuh penyelamat. Meski sebenarnya saya yang memerlukannya karena sudah lama mendamba sepasang sepatu sport warna biru.
“Ya Allah, ini hadiah darimu kan? Sebagai ganti karena Kau tak mengabulkan permintaanku sebelum berangkat tadi?” saya mengumam dalam hati sembari tersenyum simpul. Saya membuka tas jinjing saya, memasukkan sepatu bernomor 37 itu ke dalamnya. Saya tak peduli tas saya menjadi kotor. Sepatu ini terlalu cantik untuk dilewatkan. Saya membalikkan badan. Berjalan pulang. Mengurungkan niat untuk membeli novel karya Fahri Asiza, serial Syakila yang kusuka. Sepatu ini lebih menawan hati.
Hal pertama yang saya lalukan sesampainya di rumah adalah mencuci sepatuuuuu! Yeay. Kunamai ia Bluely. Biar, meski sedikit alay. Saya suka. Biru, cantik, dan terlihat menawan. Cocok untuk jogging maupun hangout. Saya mengambil sikat cuci dan detergen. Satu menit, dua menit, 20 menit berselang. Sepatu ini masih saja terlihat kotor. Saya menyerah. Tangan saya sudah keriput dan panas terkena detergen. Perjuangan hari ini sampai di sini. Saya yakin Bluely bisa kembali putih sempurna. Saya hanya perlu sedikit bekerja keras.
Dua hari berselang. Bluely sudah kering dan siap untuk dimandikan lagi. Dengan semangat yang tak kalah besar, saya mengambil senjata. Sikat dan detergen bubuk dengan butiran biru yang katanya ajaib memghilangkan noda. Satu menit, dua menit, 20 menit terlewati. Saya berhenti. Tangan saya kali ini perih karena terluka saat menyikat dengan penuh semangat. Akan saya lanjutkan lagi 2 hari kemudian.
Dan begitu seterusnya. Tiap 2 hari sekali saya membersihkan sepatu cantik itu. Ada kalanya saya menemukan sedikit noda yang sulit dihilangkan di bagian depan, noda yang tak terlihat dulu karena debu tebal membalutnya, di lain waktu saya temukan huruf d mulai memudah warnanya, maka cat acrylic menjadi andalan saya, cukup goreskan sedikit, bubuhkan vernish khusus sepatu (maklum, saya pernah berjualan sepatu lukis makanya alat perang itu saya miliki), di hari yang lain, ujung tali ternyata sedikit mengelupas, kuperbaiki sebisa mungkin, dan beberapa hal-hal kecil masih saya temui hingga pencucian yang ke tujuh. Ya. Perlu tujuh kali membersihkannya. Layaknya terkena najis besar saja ya. Basuh tujuh kali menggunakan pasir. Hhe. Tak apalah. Semangat saya belum luntur.
Dua hari setelah pencucian ketujuh, saya dapati sepatu Bluely saya nampak menawan sempurna. Berbagai reparasi yang saya buat tak nampak sehingga seolah ia adalah sepatu baru yang sempurna. Kau tau apa yang kulakukan setelah mengambilnya dari tempat jemuran? Ya. You right, baby. Saya memfotonya lengkap dengan kaki saya yang berbalus kaus kaki imut dengan warna senada. Upload instagram adalah langkah berikutnya. Hhi. Saya suka. Saya jatuh hati pada Bluely sejak pertama kali bertemu, dan melihatnya kini, rasa cinta saya naik drastis hingga berkali lipat. Ahh. Macam cinta pada pacar saja saya ini. Maklum, jomblo 20 tahun. Hhi.
Dan setelahnya, Bluely menjadi teman paling setia. Menemani kemanapun melangkah. Tidak sedikit teman yang menyanjungnya. Cantik, cocok dengan warna kulitku, trendy, dan pujian lain yang menentramkan hati. Hari ini, setelah 3 bulan dari pencucian ketujuh, saya mengajaknya pergi ke sebuah toko buku kenamaan di kotaku. Saya perlu membeli beberapa buku untuk tugas kuliah saya.
“Hai, Vin.” Seseorang menepuk pelan pundakku.
“Faishaaa. Apa kabar kamu?” saya menyalaminya hangat. Seorang kawan SMP. Teman nongkrong di perpus sekolah.
“Alhamdulillah baik. Kenalin, temen kuliahku, Lestari.” Seorang gadis cantik, memakai kacamata, berhidung mancung, dan tinggi semampai. Lengkap dengan jilbab berwarna pastel.
Detik berikutnya kami berbincang hangat mengenai banyak hal, mulai dari kegiatan kuliah, novel, berita terkini, hingga sepatu. Hhe. Saya bangga menceritakan Bluely. Meski sedikit malu karena menemukannya di pinggir jalan. Dan pertemuan hari itu ditutup dengan setangkup roti bakar isi nutella.
2 hari kemudian, sebuah sms dengan nomor baru masuk ke hp saya, “Vivin, boleh ketemu nanti sore? Pakai Bluely yaa. *Lestari.” Pikiran bahagia saya muncul. Pasti dia tertarik dengan Bluely. Mau nanya tipe dan cari model yang sama di situs-situs jual beli online. Hhe..
Di sebuah kedai sederhana di ujung kompleks.
“Vin, boleh liat Bluely nggak?”
“Boleh dooong.” Saya menyodorkan sepatu saya. Ia memperhatikan bagian dalamnya sejenak.
“Mm. Saya bingung ngomongnya. Mm.”
“Kenapa? Pengen tau tipenya?”
“Mm. Saya pernah punya sepatu yang sama. Ibu beli 1 tahun yang lalu. Saya suka sepatu ini. Tapi gak pernah saya pake. Saya diamkan di rak hingga berdebu. Saya tau sepatu ini berharga mahal, cantik, dan limited edition. Dan saya pernah menandainya. Saya bikin jahitan kecil dengan lambang L di bagian dalam sepatu. Maaf Vin, tapi tanda itu ada di sepatu kamu.”
“Tapi kan saya nemuin ini di pinggir jalan di daerah Cempaka Sari. Kompleks buku bekas. Bukan di depan rumahmu, Tari. Kamu salah mungkin?”
“Iya. Ibu membuangnya karena menganggap saya tak menyukainya.”
“Tapi aku sudah bersusah payah membuat ia nampak cantik kembali.”
“Iya Vin. Mm. Ia terlihat berkali lipat lebih cantik saat kamu pakai. Boleh saya memintanya kembali?”
“Tapi saya suda mengecat, menjahit, menyikat susah payah agar ia cantik kembali.”
“Iya Vin, tapi boleh saya memintanya kembali?”
Saya tersenyum.
------------------
Kata orang, kita baru akan merasa kehilangan saat apa yang kita miliki hilang. Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan. Melihatnya nampak lebih cantik ketika digunakan oleh orang lain.
Ini seperti rumput tetangga yang selalu nampak lebih hijau. Boleh jadi saat rumput itu kamu miliki, kamu hanya sekedar tau ia cantik. Tapi tak pernah berpikir lebih bahwa ia sangat cantik. Hingga akhirnya kau membiarkannya. Menjadikannya tak lagi cantik tapi nampak biasa dan bahkan kau mulai lupa keberadaannya di teras halamanmu. Hingga seorang tetangga menanam rumput sejenis, memupuknya, menyirami, dan merawatnya hingga tumbuh mempesona. Hijau sempurna. Dan kau baru sadar bahwa dirimu memiliki rumput yang sama persis. Tapi mungkin saat itu rumputmu sudah hampir atau bahkan sudah mati. Penyesalanmu kini berlipat ganda.
Yuk mencintai setiap hal yang kita punya. Rawat hingga menjadi cantik seperti semestinya. Jangan sampai menyesal ketika seseorang mengambil dan membuatnya nampak lebih indah. Padahal denganmu, ia juga bisa jadi sesuatu yang tak kalah indah. ^.^
Maaf untuk teman-teman yang saya comot namanya.
Dan terimakasih kuadrat untuk seorang kawan yang memberi pencerahan sekaligus omelan panjang tentang sepatu usang ini. Hhi.. Love you to the moon and the back, boii!
Yuk mencintai setiap hal yang kita punya. Rawat hingga menjadi cantik seperti semestinya. Jangan sampai menyesal ketika seseorang mengambil dan membuatnya nampak lebih indah. Padahal denganmu, ia juga bisa jadi sesuatu yang tak kalah indah. ^.^
Maaf untuk teman-teman yang saya comot namanya.
Dan terimakasih kuadrat untuk seorang kawan yang memberi pencerahan sekaligus omelan panjang tentang sepatu usang ini. Hhi.. Love you to the moon and the back, boii!
Wow,,, ceritanya menarik :) dan pesan positifnya sesuatu bgt. Well, hope there will be next story.
ReplyDeleteRegards,
Terima Kasih :)
DeleteTararengkyu Masnyaa. Didoain aja inspirasi mengalir deras ya..
DeleteCeritanya simple dan memberikan kesan yg mendalam...terus berkarya
ReplyDeleteku tunggu cerita selanjutnya....
Ada namaQ didalem cerita ini itu sesuatu bgt, makasih bu lel😘😙
Hhe. Maacih. Semoga sedikit berguna ya..
DeleteSengaja nyomot namamu Mbak Pin. Kapan2 dicomot lagi bole yaa..