Kelas Berbagi Cerita Rangkul : Hubungan Reflektif - Manajemen Emosi Diri
Kelas parenting ini menjadi menarik buat saya karena 2 hal. Pertama, kelas ini diadakan oleh komunitas yang didirikan oleh Ibu Najeela Shihab. Dan kedua, materi yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan saya, yaitu pengelolaan emosi. Jika di antara para pembaca artikel ini masih ada yang mengernyitkan dahi karena tidak paham kenapa saya yang masih berstatus calon ibu sudah ikut kelas parenting, apa motivasi saya ikut, atau bahkan bingung apa itu Kelas Berbagi Cerita Rangkul, silahkan jump to my previous article, klik di sini. Saya menceritakan jawaban dari keheranan-keheranan itu di situ yaa..
source : www.keluargakita.com |
Apa yang mempengaruhi hubungan dalam keluarga ?
Pada dasarnya, kita semua menginginkan hubungan keluarga yang baik, harmonis, menyenangkan, saling mendukung, dan penuh dengan kebahagiaan. Tapi, sadarkah kita bahwa terdapat hal-hal yang secara tidak sengaja atau tidak terkontrol dapat mempengaruhi hubungan dalam keluarga? Ya, bagaimana kita bersikap dan membentuk hubungan dengan anggota keluarga yang lain, entah dengan suami, istri, anak, kakak, adik, sepupu, nenek, kakek, tante, paman, bibi, atau anggota keluarga yang lain pada dasarnya dipengaruhi oleh 4 hal utama. Yaitu :
Pola Pengasuhan di Masa Lalu
Pola pengasuhan yang kita terima di masa lalu, memiliki tempat tersendiri di dalam otak kita. Pengalaman ini tidak dapat dihindari dan diubah. Secara tidak sadar, apa yang kita alami dalam pengasuhan di masa lalu menjadi standar untuk melakukan pengasuhan di masa kini. Contoh kecil dan sederhana adalah ketika suami saya menyuruh adik bungsunya untuk membersihkan rumah. Saya yang sedari kecil diberikan waktu penuh untuk bermain dan belajar tanpa kewajiban untuk membersihkan rumah, sontak menolak perintah itu. "Biarin dong, kan dia baru juga nonton TV."
Ekspresi yang saya keluarkan adalah wujud dari pola pengasuhan yang saya alami. Itu tidak terkontrol, respon otomatis ketika menghadapi suatu kondisi yang juga pernah saya alami. Namun, pola pengasuhan tidak selamanya benar dan dapat diterapkan. Misal, seorang ibu biasa menyuruh anaknya belajar dengan cara dibentak dan dicubit bila membangkang. Hal itu tidak dapat dibenarkan.
Maka tugas kita adalah mengontrol pengalaman masa lalu yang kita alami. Ambil pola pengasuhan yang baik, dan buang apa yang buruk. Kuncinya adalah dengan saling menghargai dan mengingatkan antara satu anggota keluarga dengan yang lain. Membentuk hubungan keluarga yang harmonis bukan hanya tugas satu orang bukan?
Keunikan Temperamen
Setiap anggota keluarga dilahirkan dengan temperamen yang berbeda. Misal saya dilahirkan menjadi pribadi yang melankolis dan sensitif, sedangkan kakak saya dilahirkan menjadi pribadi yang easy going dan memandang banyak hal dengan lebih sederhana. Ini sama seperti halnya saya dilahirkan memiliki hidung mungil, sedangkan kakak saya dilahirkan dengan hidung seperti jambu air bangkok, gede. Padahal kita dilahirkan dari rahim yang sama toh?
Temperamen ini dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan bereaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sudah sepatutnya kita menghargai perbedaan ini. Karena poinnya untuk membangun hubungan keluarga yang baik adalah bagaimana kita bisa bereaksi atau berperilaku sesuai dengan yang lawan kita butuhkan.
Jadi, meskipun salah satu anggota keluarga memiliki temperamen yang cenderung negatif, cobalah untuk melihat hal tersebut dari sisi positif. Misal saya mudah menangis, kakak saya bisa saja mencap saya sebagai seseorang yang cengeng, cemen, dan lebay. Tapi ia bisa membaca temperamen itu menjadi temperamen positif, misal saya seorang yang terlalu peka. Dengan temperamen mudah menangis ini, kakak saya bisa mengatur bagaimana harus berinteraksi dengan saya, misal tidak menggunakan kata-kata kasar (meski bercanda), tidak menggunakan nada tinggi, dan lain-lain.
Hubungan Sosial atau Pergaulan dan Dunia Luar
Kita tidak dapat mengontrol pola asuh yang diterapkan di keluarga teman-teman kita. Pun kita juga tidak dapat mengontrol perkembangan teknologi yang ada. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, hubungan sosial dan dunia luar ini berpengaruh di dalam hubungan antara anggota keluarga.
Contohnya, di era modern ini, siapa sih yang tidak menggunakan handphone? semua orang bahkan anak sekolah dasarpun sudah familiar dengan benda tersebut. Saat kita menetapkan waktu quality time di rumah, misal setelah maghrib ditetapkan untuk waktu bercengkrama bersama keluarga, sedangkan di keluarga teman kita tidak demikian. Bukan hal yang aneh jika teman kita itu menghubungi kita melalui telpon atau whatsapp, telegram, dan sejenisnya. Bisa jadi ritme pengasuhan yang sudah disepakati ini akan berubah jika kita membiarkan ritme keluarga yang lain masuk tanpa permisi.
Pada dasarnya, kita semua menginginkan hubungan keluarga yang baik, harmonis, menyenangkan, saling mendukung, dan penuh dengan kebahagiaan. Tapi, sadarkah kita bahwa terdapat hal-hal yang secara tidak sengaja atau tidak terkontrol dapat mempengaruhi hubungan dalam keluarga? Ya, bagaimana kita bersikap dan membentuk hubungan dengan anggota keluarga yang lain, entah dengan suami, istri, anak, kakak, adik, sepupu, nenek, kakek, tante, paman, bibi, atau anggota keluarga yang lain pada dasarnya dipengaruhi oleh 4 hal utama. Yaitu :
Pola Pengasuhan di Masa Lalu
Pola pengasuhan yang kita terima di masa lalu, memiliki tempat tersendiri di dalam otak kita. Pengalaman ini tidak dapat dihindari dan diubah. Secara tidak sadar, apa yang kita alami dalam pengasuhan di masa lalu menjadi standar untuk melakukan pengasuhan di masa kini. Contoh kecil dan sederhana adalah ketika suami saya menyuruh adik bungsunya untuk membersihkan rumah. Saya yang sedari kecil diberikan waktu penuh untuk bermain dan belajar tanpa kewajiban untuk membersihkan rumah, sontak menolak perintah itu. "Biarin dong, kan dia baru juga nonton TV."
Ekspresi yang saya keluarkan adalah wujud dari pola pengasuhan yang saya alami. Itu tidak terkontrol, respon otomatis ketika menghadapi suatu kondisi yang juga pernah saya alami. Namun, pola pengasuhan tidak selamanya benar dan dapat diterapkan. Misal, seorang ibu biasa menyuruh anaknya belajar dengan cara dibentak dan dicubit bila membangkang. Hal itu tidak dapat dibenarkan.
Maka tugas kita adalah mengontrol pengalaman masa lalu yang kita alami. Ambil pola pengasuhan yang baik, dan buang apa yang buruk. Kuncinya adalah dengan saling menghargai dan mengingatkan antara satu anggota keluarga dengan yang lain. Membentuk hubungan keluarga yang harmonis bukan hanya tugas satu orang bukan?
Keunikan Temperamen
Setiap anggota keluarga dilahirkan dengan temperamen yang berbeda. Misal saya dilahirkan menjadi pribadi yang melankolis dan sensitif, sedangkan kakak saya dilahirkan menjadi pribadi yang easy going dan memandang banyak hal dengan lebih sederhana. Ini sama seperti halnya saya dilahirkan memiliki hidung mungil, sedangkan kakak saya dilahirkan dengan hidung seperti jambu air bangkok, gede. Padahal kita dilahirkan dari rahim yang sama toh?
Temperamen ini dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan bereaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sudah sepatutnya kita menghargai perbedaan ini. Karena poinnya untuk membangun hubungan keluarga yang baik adalah bagaimana kita bisa bereaksi atau berperilaku sesuai dengan yang lawan kita butuhkan.
Jadi, meskipun salah satu anggota keluarga memiliki temperamen yang cenderung negatif, cobalah untuk melihat hal tersebut dari sisi positif. Misal saya mudah menangis, kakak saya bisa saja mencap saya sebagai seseorang yang cengeng, cemen, dan lebay. Tapi ia bisa membaca temperamen itu menjadi temperamen positif, misal saya seorang yang terlalu peka. Dengan temperamen mudah menangis ini, kakak saya bisa mengatur bagaimana harus berinteraksi dengan saya, misal tidak menggunakan kata-kata kasar (meski bercanda), tidak menggunakan nada tinggi, dan lain-lain.
Hubungan Sosial atau Pergaulan dan Dunia Luar
Kita tidak dapat mengontrol pola asuh yang diterapkan di keluarga teman-teman kita. Pun kita juga tidak dapat mengontrol perkembangan teknologi yang ada. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, hubungan sosial dan dunia luar ini berpengaruh di dalam hubungan antara anggota keluarga.
Contohnya, di era modern ini, siapa sih yang tidak menggunakan handphone? semua orang bahkan anak sekolah dasarpun sudah familiar dengan benda tersebut. Saat kita menetapkan waktu quality time di rumah, misal setelah maghrib ditetapkan untuk waktu bercengkrama bersama keluarga, sedangkan di keluarga teman kita tidak demikian. Bukan hal yang aneh jika teman kita itu menghubungi kita melalui telpon atau whatsapp, telegram, dan sejenisnya. Bisa jadi ritme pengasuhan yang sudah disepakati ini akan berubah jika kita membiarkan ritme keluarga yang lain masuk tanpa permisi.
source : www.keluargakita.com |
Hal-hal semacam ini tidak dapat dibendung dan diblock permanen, kitalah yang harus mengupayakan untuk konsisten dengan pola pengasuhan yang telah disepakati bersama. Apa yang didapat dari luar, dapat menjadi pelajaran. Namun, tidak harus diterapkan di keluarga kita. Sama dengan pola pengasuhan di masa lalu, ambil yang baik, dan buang apa yang buruk.
Perubahan Zaman
Setiap anggota keluarga wajib menerima perubahan zaman. Meskipun secara filosofi tetap sama, perubahan zaman menyebabkan tidak sedikit hal yang nyata berubah. Salah satu di antaranya adalah teknologi. Perkembangan teknologi memiliki berbagai sisi, selain memudahkan interaksi dalam hubungan, namun juga hadir dengan berbbagai resiko apabila kita tidak belajar mengendalikan dengan baik. Lihat video berikut ini
Perubahan Zaman
Setiap anggota keluarga wajib menerima perubahan zaman. Meskipun secara filosofi tetap sama, perubahan zaman menyebabkan tidak sedikit hal yang nyata berubah. Salah satu di antaranya adalah teknologi. Perkembangan teknologi memiliki berbagai sisi, selain memudahkan interaksi dalam hubungan, namun juga hadir dengan berbbagai resiko apabila kita tidak belajar mengendalikan dengan baik. Lihat video berikut ini
Dalam membangun hubungan keluarga yang baik, tentu dibutuhkan pengelolaan emosi. Namun, apa sih emosi itu?
Emosi adalah sebuah perasaan yang kita alami ketika menghadapi sesuatu. Dan ini adalah hal yang wajar, tidak terpisahkan dari diri kita, dan pengalaman di dalam keluarga. Dikatakan wajar adalah karena pada saat yang sama kita berlaku sebagai banyak peran. Misalkan saya, di waktu yang bersamaan, saya tidak hanya menjadi istri, namun juga menjadi anak, kakak, adik, menantu, karyawan, dan teman. Sehingga menjadi wajar apabila saya terkadang mencampur adukkan emosi yang saya rasakan.
Misalkan saya pulang ke rumah dengan perasaan jenuh karena pekerjaan yang menumpuk saat di kantor, ketika adik tidak sengaja menumpahkan parfum kesayangan saya, saya akan bereaksi dengan marah berlebihan. Padahal emosi saya seharusnya bukan karena parfum tumpah, namun karena pekerjaan yang menumpuk. Emosi semacam inilah yang perlu untuk dicermati agar tidak salah sasaran.
Emosi adalah sebuah perasaan yang kita alami ketika menghadapi sesuatu. Dan ini adalah hal yang wajar, tidak terpisahkan dari diri kita, dan pengalaman di dalam keluarga. Dikatakan wajar adalah karena pada saat yang sama kita berlaku sebagai banyak peran. Misalkan saya, di waktu yang bersamaan, saya tidak hanya menjadi istri, namun juga menjadi anak, kakak, adik, menantu, karyawan, dan teman. Sehingga menjadi wajar apabila saya terkadang mencampur adukkan emosi yang saya rasakan.
Misalkan saya pulang ke rumah dengan perasaan jenuh karena pekerjaan yang menumpuk saat di kantor, ketika adik tidak sengaja menumpahkan parfum kesayangan saya, saya akan bereaksi dengan marah berlebihan. Padahal emosi saya seharusnya bukan karena parfum tumpah, namun karena pekerjaan yang menumpuk. Emosi semacam inilah yang perlu untuk dicermati agar tidak salah sasaran.
source : www.momlifetoday.com |
Satu trik yang dibagikan oleh Teh Ari, relawan Rangkul, untuk menahan agar emosi negatif tidak tersalurkan dengan salah adalah menggunakan kata khusus. Kata khusus ini digunakan sebagai tanda agar anggota keluarga yang lain, anak-anak dan suaminya menghindar saat ia terserang emosi negatif dan bukan karena mereka. Kata khusus yang ia gunakan adalah Tibet.
Jadi misal Teh Ari sedang marah dengan kliennya dan saat itu tiba-tiba sang anak menghampiri, ia akan bilang "Tibet". Itu tandanya si anak harus pergi menghindar hingga sang ibu mereda emosinya dan siap untuk membantu sang anak. So, dengan itu anak terhindar dari amukan si ibu yang sebenarnya disebabkan oleh hal lain. Simple tapi efektif menurut saya. Bisalah saya tiru nanti. Hhe.
Tidak hanya itu, masalah yang seringkali muncul dalam pengelolaan emosi adalah pembacaan emosi yang salah. Sehingga seringkali kita salah dalam berekspresi. Contohnya, saat anak tidak sengaja menumpahkan saos ke kemeja putih milik teman ibunya, sang ibu yang panik akan bereaksi dengan marah, "Adik, gitu aja kok gak bisa sih? ini jadi kotor semua kan baju Tante Ivana." Ekspresi ini bisa jadi pengalaman yang salah bagi sang anak. Ia yang kematangan emosi dan pola berpikirnya belum sempurna akan beranggapan bahwa menumpahkan saus adalah salah dan berarti dimarahi. Padahal, sang ibulah yang salah berekspresi. Seharusnya, ia cukup meminta maaf kepada temannya atas ketidak sengajaan itu.
Jadi misal Teh Ari sedang marah dengan kliennya dan saat itu tiba-tiba sang anak menghampiri, ia akan bilang "Tibet". Itu tandanya si anak harus pergi menghindar hingga sang ibu mereda emosinya dan siap untuk membantu sang anak. So, dengan itu anak terhindar dari amukan si ibu yang sebenarnya disebabkan oleh hal lain. Simple tapi efektif menurut saya. Bisalah saya tiru nanti. Hhe.
Tidak hanya itu, masalah yang seringkali muncul dalam pengelolaan emosi adalah pembacaan emosi yang salah. Sehingga seringkali kita salah dalam berekspresi. Contohnya, saat anak tidak sengaja menumpahkan saos ke kemeja putih milik teman ibunya, sang ibu yang panik akan bereaksi dengan marah, "Adik, gitu aja kok gak bisa sih? ini jadi kotor semua kan baju Tante Ivana." Ekspresi ini bisa jadi pengalaman yang salah bagi sang anak. Ia yang kematangan emosi dan pola berpikirnya belum sempurna akan beranggapan bahwa menumpahkan saus adalah salah dan berarti dimarahi. Padahal, sang ibulah yang salah berekspresi. Seharusnya, ia cukup meminta maaf kepada temannya atas ketidak sengajaan itu.
Pengekspresian emosi yang salah ini apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan lingkaran emosi negatif yang tidak baik untuk anak, keluarga, maupun diri sendiri. Dan, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan berulang di kemudian hari. So, hal pertama yang menjadi PR kita semua adalah bagaimana membaca emosi kita sendiri agar ekspresi yang dimunculkan tepat sasaran.
Dalam kelas parenting ini, diperkenalkan 4 macam emosi yang hobi disalah artikan atau tertukar. Yaitu : marah, tidak enakan, merasa bersalah, dan ingin dipuji atau mendapat pengakuan.
source : www.keluargakita.com |
Sebenernya banyak contoh dan sharing mengenai pengelolaan emosi ini, tapi saya rasa akan lebih afdhol jika ikut kelasnya secara langsung. Gak bakal rugi, yang ada malah nagih untuk ikutan kelas-kelas berikutnya.
Yuk belajar mengasuh!
0 komentar: