Karena Dunia Siomay Ternyata Selebar Daun Kelor

08:03:00 It's Leblung 0 Comments

"Itu kan Mas Siomay."
--

Entah kenapa, beberapa malam terakhir saya kepengin berbuka dengan yang manis-manis, sambil ngaca misalnya (plis jangan tersedak). Nggak ding. Pengen berbuka dengan sayur berkuah segar. Keinginan ini muncul lantaran santan dan lemak-lemak genit sudah menemani saya hampir selama 20 hari berpuasa. So, I need something fresh.

Di kota yang tengah berkembang ini, Purwakarta, menemukan sayur kuah bening tanpa lemak bisa dibilang sangat sulit. Meskipun banyak rumah makan ataupun warung tenda yang menyajikan menu "Sop Iga Kuah Bening" dan "Sop Kambing Kuah Bening", tapi tetap saja kuah-kuah itu tidak cukup segar. Aura si lemak genit menyelimuti setiap mangkuk sop. Jadilah rasa segar yang saya butuhkan tidak bisa dipenuhi oleh sajian-sajian itu.

Sop Iga Kuah Bening (www.bukuresep.net)

Lalu, kuah segar macam apa yang saya butuhkan?
1. Sayur bayam ibu saya
2. Sayur sop ibu saya
3. Sayur asem ibu saya
4. Sayur-sayur segar lain yang dibikin ibu saya. Hhe

Perkenalkan Ibu Saya, Tjantik yahh 😢

Tapi apalah daya, waktu mudik masih 5 hari lagi. Berbekal informasi dari seorang teman yang katanya ada Cuanki enak di Purwakarta, saya memacu si merah dengan kecepatan sedang. Beberapa kali sempat mau bertabrakan karena mata saya tidak cukup kuat menahan silau dari lampu led berwarna putih milik kendaraan lain yang bersebrangan. "Pak Polisi, tolonglah itu dikaji ulang pemakaian lampu led putih."

Back to topic, jadi Cuanki ini sejenis bakso dengan kuah bening. Jadi berbeda dengan kebanyakan bakso yang dijual di daerah Jawa Barat yang cenderung berkuah (maaf) keruh, berlemak, dan rich of mecin (vetsin) taste serta hanya berisi bakso, mie, taoge, dan sawi. Cuanki lebih seperti saudara sepupu bakso di daerah Jawa Timur. Isinya beragam dan berkuah bening. Mungkin tentang per-cuanki-an bisa kamu baca detail di post saya sebelumnya, klik di sini ya.

Setelah sekitar 10 menit memacu si merah, saya berhenti di sebuah tempat makan sederhana yang memanjang. Mm, dari arahan 2 teman saya, harusnya saya tepat berada di Warung Cuanki yang mereka bilang. Tapi nyatanya saya celingak-celinguk dan hanya mendapati deretan gambar es, mulai dari es campur, es teler, hingga es durian. Lalu kemana perginya si Warung Cuanki? Tak menyerah, saya bertanya kepada dua remaja pria yang nampaknya berperan sebagai juru parkir dadakan.

Saya Berhenti di Kedai yang Panjang Itu
"Mas, katanya di deket sini ada warung cuanki ya?"
"Iya bener, Teh. Di sini."
"Mm, bener Mas? Ini bukan warung es ya? Kok gambarnya es semua?"
"Sama aja Teh. Itu cuanki, yg ini es. Tapi sama kok dua-duanya."
Mmmh. Makin pusing pala berbie. Tapi ketika menengok ke arah kiri, benar ada gerobak bakso yang mengepul. "Tapi kok kecil gitu tempatnya. Katanya rame, " batin saya.

Karena perut sudah kruyuk-kruyuk masuklah saya ke warung berlabel "Nyuankie" itu. Luasnya hanya sekitar 3,5 x 6 meter. Termasuk kecil untuk ukuran sebuah warung. Di dalamnya hanya ada 6 meja yang masing-masing dilengkapi 4 buah kursi plastik berwarna merah. Meja-meja itu bersih mengkilat. Tanpa ada bekas kecap atau sambal yang mengering karena terlambat dibersihkan.

Bersih Mengkilaaat
Ketika mendongak, saya dapati dinding-dinding toko mungil itu dihiasi pigura-pigura dan wall sticker lucu. Padanan motif kotak-kotak berwarna merah semakin membuat warung mini ini terlihat hangat namun tetap ceria. Dari situ, saya langsung menebak bahwa pangsa pasar yang dibidik adalah kawula muda dan nampaknya ownernya juga muda, atau minimal berjiwa muda.

Dinding Sebelah Kanan



Dinding Sebelah Kiri
Tak lama setelah saya duduk, seorang waitress menyambut hangat. Saya pesan semangkuk cuanki dan es campur. Ketika asyik memperhatikan sekeliling, mata saya tertumpuk pada seorang laki-laki yang hilir mudik membersihkan meja, sesekali menjadi kasir, dan menginstruksikan beberapa hal kepada waitress yang lain. Saya teliti lebih lanjut wajahnya. Dan roll memori saya pun berputar.

Beberapa bulan lalu, saya tengah bersemangat mencoba berbagai resep masakan. Salah satunya adalah siomay. Berbekal resep sederhana yang saya dapat dari surfing di Instagram, saya mendapati resep yang sederhana. Setelah memperhitungkan budget, effort, dan peralatan yang dibutuhkan, saya berangkat ke sebuah pasar tradisional di Purwakarta untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Pasar Rebo namanya.

Ayam, Tepung Kanji, Telor, Daun Bawang, dan Merica sudah saya peroleh. Tinggal satu bahan yang esensial, Kulit Pangsit. Kalau di Malang, saya cukup datang ke toko bahan kue langganan dan meminta sebungkus Kulit Pangsit kualitas prima. Tapi di sini? Saya tak tahu mana toko yang menjual pangsit yang berkualitas baik. Dan lagi, saya tak bisa membedakan mana yang baik dan yang mudah pecah. Bagi saya semua terlihat sama. Hhe..

"Mang, kulit pangsit buat siomay yang bagus yang mana ya?"
"Yang ini Teh. Lebih mahal 3.000 sih dari yang situ."
"Hoo. gak pecah kan ya Mas?"
"Nggak. Bagus ini Teh."

Tapi kok yang murah keliatan lebih lentur ya? Saya diserang bimbang (lebay). Satu menit, dua menit, tiga menit, saya masih sibuk memilih kulit pangsit, yang murah atau yang mahal. Sedetik kemudian ada Mas-Mas membawa beberapa kantong bahan makanan. Tanpa ba-bi-bu ia menginstruksikan si Mamang Kulit Pangsit untuk membungkus beberapa pack kulit pangsit murah dan beberapa pack kulit pangsit mahal. Karena dasarnya tak tahu malu, saya asyik nyelonong,

"Mas, jualan ya? Ini kulit pangsit yang bagus yang mana ya?"
"Iya Teh jualan. Tetehnya mau bikin apa dulu?"
"Siomay, Mas."
"Ohh, kalo siomay yang ini aja Teh. Kan direbus, gak pecah kulitnya. Kalo digoreng lebih bagus yang ini."
Dia menyarankan membeli yang murah. Setengah sebel karena mamang kulit pangsit ngaco jawabnya, tapi sebagian hati yang lain girang karena tidak jadi terjerumus. Hhi. Jadilah saya mengingat mas itu sebagai Mas Siomay.


Dan. Malam ini saya melihat lagi Mas Siomay itu. Ah, dunia siomay ternyata hanya selebar daun kelor yaa..

Mari kembali ke urusan cuanki. Setelah menunggu sekitar 5 menit, semangkuk cuanki dan es campur terhidang di depan mata. Saya memilih menyeruput kuah si cuanki terlebih dahulu. Mm. Segar. Gurihnya pas. Hanya saja kurang sedikit panas. Semangkuk cuanki ini berisi 3 buah bakso daging, 1 buah bakso ikan, 1 buah siomay, 1 buah pangsit goreng, beberapa potong tahu kopong (tahu gembos), dan segerombol kerupuk ikan tenggiri. 

Semangkuk Bakso "Nyuankie"


Ukuran bakso daging dan bakso ikannya cukup mini, diameternya kira-kira satu ruas jari gadis imut seperti saya. Bakso dagingnya empuk, nampaknya daging ayam mengambil porsi lebih banyak pada adonan bakso dagingnya. Sedangkan bakso ikannya, ajib. Kenyal maksimal. Seenak tempura di Hanamasa. Kata Mas Siomay (Bayu nama sebenarnya), bakso ikan ini diproduksi oleh temannya yang berdomisili di Bandung dan yang digunakan adalah ikan tenggiri. Sedangkan bakso dagingnya, ia produksi sendiri dibantu oleh 5 orang karyawannya. Untuk siomay dan pangsit goreng, rasanya enak. Tapi tidak bisa dibilang istimewa karena rasanya hampir sama dengan siomay dan pangsit goreng enak di warung bakso atau warung cuanki yang lain. Begitu pula dengan tahu gembosnya. Yang paling saya suka adalah kerupuknya. Bertekstur hampir sama dengan kerupuk kulit sapi, kerupuk tenggiri yang digunakan memiliki lebar kecil, jadi cukup dalam satu suapan. Saya suka ketika kerupuknya tercelup air. Sensasinya lucu. Hhe.

Gerobak Untuk Meracik si Bakso "Nyuankie"
Bagaimana dengan Es Campurnya? Porsinya cukup besar untuk harga yang relatif murah, 10.000 rupiah. Isinya cukup beragam mulai mutiara, potongan nangka, kelapa muda, kacang hijau, dan bahkan tape singkong. Well, sudah sangat jarang es campur selengkap ini. Tapi isiannya cuma dikit. Hhu. Ya setara dengan harga yang dibayarkan sih. Sirup yang digunakan enak. Terasa kalau gula asli dan bukan gula buatan yang meninggalkan rasa pahit di ujung lidah. Tapi jika boleh saya memberi saran, ada baiknya jumlah susu ditambahkan sedikit.

Es Campur

So, overall Cuanki dan Es Campur ini akan bikin saya balik lagi.

Sebagai informasi, si Warung Cuanki berlabel "Nyuankie" ini buka pukul 13.00 WIB - stok habis. Di hari biasa sih, 250 - 300 porsi cuanki berharga 12.500 rupiah habis dalam waktu 4 jam saja, alias jam 17.00 WIB sudah tutup. So, buat kamu yang pengen cobain, gak pake beralasan nanti-nanti yaa. Langsung aja dateng ke Jalan Suradireja, Pasar Jumát (sebelum rel kereta api munjul). Keburu abis braaay!

Mas Siomay dan Teteh Es Campur (mereka kakak beradik), tunggu kedatangan saya yahh. Lain kali saya akan mengajak si Mas Pacar untuk makan cantik di situ. ^.^
  

You Might Also Like

0 komentar: