Mari Berkicau dan Mari Mendengar!

22:53:00 It's Leblung 0 Comments

Siang ini, seorang kawan lama yang telah hilang dari peredaran tiba-tiba menghubungi saya via WhatsApp. Tak ada angin tak ada hujan, tak ada undangan apalagi pemberitahuan di papan pengumuman, ia hadir. Menyapa. Sekilas berbasa-basi tentang kabarku dan kabarnya. Sehat? Sekarang sibuk apa? Berdomisili dimana? Dan beberapa pertanyaan standar lainnya. Tak ada yang janggal dengan percakapan itu, hingga sejurus kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang kehidupannya. Tentang hal-hal yang ia jumpai beberapa tahun belakangan. Tentang masalah-masalah yang membuatnya gundah. Tentang kebahagiaan dan prestasi yang ia dapatkan. Dan saya tergugu.

Dejavu menyerang saya. Ini seolah pernah terjadi. Dan bukan sekali dua kali. Ohh God. Ini bukan Dejavu. Ini benar pernah terjadi. Di kereta ekonomi yang mengantarkan saya dari Malang ke Surabaya. Di angkot warna kuning yang mengantarkan saya dari Surabaya ke Sidoarjo. Di bus ekonomi yang mengantarkan saya dari Kampung Rambutan ke Purwakarta. Di ruang tamu sebuah kos di Purwakarta. Di warung dekat rumah. Di toko kelontong dekat kos. Dan entah dimana lagi. Saya tak menghitung dan mengingatnya dengan benar. Ya. Di tempat-tempat itu. Seseorang bercerita dengan sinar mata yang berbeda.

Sekali waktu, seorang bapak paruh baya menceritakan kisah hidupnya dari awal merantau hingga sukses menjadi pengusaha pagar besi dan 3 jam penuh si bapak bercerita tanpa jeda. Membuat saya yang terkantuk-kantuk menjadi batal tidur dengan terpaksa. Di waktu yang lain, seorang ibu paruh baya menceritakan kisahnya membangun usaha baju di Pasar Blitar, mulai dari jadwal berdagang, dimana ia kulakan (belanja) hingga keberhasilannya menyekolahkan si anak dari hasil berjualan itu. Si ibu bercerita selama 2 jam dengan semangat membara. Ibu yang lain menceritakan pekerjaan suaminya lengkap dengan sejarah berdirinya perusahaan tersebut. Di setting waktu dan tempat yang lain, seorang nenek menceritakan hidupnya yang memilukan, anak-anak yang bersikukuh dengan pendiriannya, letih karena masih harus bekerja hingga setua itu, dan usaha yang kadang timbul tenggelam. Serta cerita-cerita lain yang tak jarang memakan waktu lama. Membuat saya kehilangan rasa kantuk atau seringkali harus menahan kelopak mata agar tak menutup.

Mereka, seringkali memainkan monolog ketika bertemu saya. Bercerita dengan semangat ’45. Membara. Tapi ada juga yang bercerita dengan sinar haru, terenyuh dengan kisah hidupnya sendiri. Atau kadang menahan tangis. Matanya redup, ia jujur dengan kesedihannya. Saya yang bahkan tak mengenal mereka sebelumnya, hanya bisa mengangguk. Menjawab ‘Oh’, ‘Wah, begitu ya Bu?’, ‘Kok bisa’, atau mentok dengan gumaman ‘Mm’. Saya bukan pendengar yang baik untuk mereka. Bahkan seringkali saya terpaksa memasang wajah datar agar cerita segera menemukan titik akhir. Tapi sesering itu pula cara itu tak efektif. Mereka tetap melanjutkan ceritanya.
source : @curhatdong
Dan, di antara kisah menjadi pendengar yang tidak baik itu, saya menemukan sebuah kesimpulan bahwa banyak di antara kita, orang-orang yang butuh didengarkan. Bahkan mungkin bagi mereka, tak perlu respon yang baik, cukup didengarkan. Diberi waktu untuk bicara agar tak hanya memendamnya dalam hati. Itu terbukti dengan wajah datar dan respon super flat yang tidak berhasil membuat mereka kehilangan semangat bercerita. Lalu sebuah tanya muncul. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah menjadi pendengar yang baik bagi yang lain? Atau tak jauh beda dengan saya?

Semenjak sebuah tulisan mengenai hasil penelitian bahwa wanita memiliki kebutuhan untuk berkicau 20.000 kata per hari, sedangkan pria hanya memerlukan 7.000 kata per hari, berkicau seolah menjadi kebutuhan primer. Termasuk saya yang tempo hari ikut-ikutan menuntut untuk didengarkan. Tapi saya lupa bahwa saya selama ini juga bukan pendengar yang baik untuk orang-orang di sekitar saya. Untuk ibu saya yang hobi menceritakan hal sama hingga 2-3 kali. Untuk ayah saya yang suka membagi tips kepemimpinan dan dalil-dalil agamanya. Untuk kakak saya mengenai liburan dan perantauannya. Untuk sahabat-sahabat saya yang gundah karena kekasihnya, karena pekerjaannya, dan mungkin pula karena keluarganya. Untuk musuh bebuyutan yang galau dipindah ke kota lain. Ahh. Saya lupa bahwa mereka juga perlu berkicau, sama seperti saya.

Lalu, bagaimana cara mendengar yang baik? Cukup bilang ‘iya’ dan membiarkan si tokoh utama bermonolog? Bukan-bukan begitu. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Pramudianto, I am Coach, dijelaskan bahwa kegiatan ‘mendengar’ yang dalam bahasa mandarin disebut ting, terdiri atas 5 elemen, yaitu :
1. Er Tuo atau telinga
Pada dasarnya kita memerlukan telinga untuk mendengarkan. Mendengarkan diartikan sebagai mendengar apa yang orang lain bicarakan kepada kita.
2. Wang atau raja
Mendengarkan dengan baik berarti menjadikan si pembicara sebagai raja. Maka kita perlu sungguh-sungguh mendengarkan agar maksud si pembicara dapat ditangkap dengan benar tanpa ada distorsi dari keinginan atau pemikiran kita sendiri.
3. Yen cin atau mata
Mendengarkan juga memerlukan mata. Hal ini untuk membuktikan bahwa kita mendengarkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Lakukan kontak mata dengan pembicara. Karen seringkali seseorang yang tidak bersungguh-sungguh mendengarkan akan mengalihkan kontak mata pada hal lainnya misal layar handphone, jam tangan, atau titik fokus yang lain.
4.Yi  atau fokus/satu
Pendengar yang baik memfokuskan dan memusatkan perhatiannya pada pembicara dan apa yang dibicarakannya. Tidak memotong di tengah penjelasannya sehingga dapat menghindari timbulnya pertengkaran ataupun mengganggu konsen pembicara sehingga lupa pada inti yang akan diceritakan.
5. Xin atau hati
Mendengar yang baik berarti menggunakan hati. Maksudnya adalah memerhatikan arah komunikasi dan informasi yang disampaikan baik secara verbal maupun non verbal. Seringkali kita hanya menangkap komunikasi verbal dan melalaikan komunikasi non verbal seperti dahi yang berkerut, tangan yang berkeringat, bunyi kertak jari karena gemas, dan bahasa tubuh lainnya.
source : www.keluhcinta.com
Maka menjadi pendengar yang baik berarti mendengarkan dengan telinga hingga si pembicara merampungkan kalimatnya, menatap matanya dan mengamati bahasa non verbalnya pula, serta fokus pada pembicara dan apa yang dibicarakan olehnya. Anda boleh menyanggah, memberi saran, atau sekedar mengiyakan setelah si pembicara utama menyelesaikan kalimatnya. Hindari memotong di tengah agar fokus pembicara tidak terpecah dan mengakibatkan penyampaian yang kurang atau salah. ^.^

Ini hanya sebuah refleksi diri tentang menjadi pendengar yang baik, agar tak banyak orang yang bermonolog lagi. Cukup di panggug teater saja sang seniman bermonolog. Tidak di dunia nyata. ^.^

Tunaikan hakmu tapi jangan lupa hak orang lain ya.
Mari Berkicau dan Mari Mendengarkan!

You Might Also Like

0 komentar: