Mengintip Surga dari Bukit Merese, Indonesia

00:16:00 It's Leblung 0 Comments

April yang tak bersahabat. Berhari-hari kota Bandung diguyur hujan lebat diikuti angin kencang yang menakutkan. Kabar mengerikan akibat cuaca yang tak menentu mengisi kolom-kolom media massa dengan serakah. Dan di jendela kantor, ia menemuiku resah. Ya. Gundah gulana. Bukan karena takut rumah ibu kos kebanjiran. Bukan karena takut tebing di dekat kantor akan longsor. Dan bukan pula karena kantong yang hampir jebol. Gelisah ini karena di layar komputer yang kubelakangi, tertera tiket pesawat pulang-pergi untuk 8 orang di bulan April. Kami hendak berlibur ke pulau seberang.

"Lil, hujan makin gak jelas. Sudah punya plan B kalau di sana hujan terus?" Asong angkat bicara.
"Belum. Kita bisa cuma diem di kamar kalau hujan. Semua destinasi outdoor. Haish," jawabku resah.
"Aku sama Yo batal ikut ya kalau hujannya tetep deres mulu." Malisa menimpali.

Saya makin resah. Tidak hanya tiket pesawat yang terancam rugi 25%, tapi tiket hotel 4 kamar beserta satu villa besar akan terbuang percuma. Tanpa refund sepeserpun. Kepala saya mulai pening. Rasa-rasanya saya bukan planner liburan yang baik. Dan di waktu genting itu, sebuah pesan masuk ke ponsel mungil saya :

Gak usah panik. Coba hubungi persewaan mobil. Tanya cuaca di sana beberapa hari terakhir.

Pesan singkat dari sang pencuri hati (baca : pacar a.k.a suami). Rasanya ada ribuan kunang-kunang bersinar terang pantatnya. *ups. Secepat kilat saya menghubungi persewaan mobil. Dan secara kebetulan, timeline Instagram menunjukkan seorang teman lama tengah ber-honeymoon ria di pulau seberang.

"Selamat siang, Mbak. Di sana hujan nggak sih beberapa hari ini? Di sini banjir-banjir euy," seruku cerewet.
"Sudah seminggu di sini nggak hujan Mbak," customer service persewaan mobil menjawab ramah.

Saya tersenyum lega. Sejurus kemudian mengirim pesan kepada kawan lama saya, Hanugrah Rahadityo Prasetyo, si cungkring pemilik Travel Agent bernama One Tour Trip yang tengah berlibur ke pulau seberang.

Lily       : Ciyeee yang lagi honeymoon. Hujan gak Bro di sana?                     
Nungki : Aku udah di sini tiga hari dan belum nemu ujan. Umak (kamu) kapan kesini? Mau honeymoon ?    
Lily      : Kagak. Mau bawa pasukan buat liburan ke sono euy. Takut hujan.                
Nungki : Aman kok.          
                                                                                                                     
Ada kembang api yang meletup-letup di dada. Liburan istimewa tak jadi luput dari genggaman. Alhamdulillah.

----

Pagi itu, matahari terlalu bersemangat. Teriknya yang membakar kulit membuat kami sibuk memegangi topi sambil berlari-lari kecil menuju mobil yang sudah di-booking 2 minggu sebelumnya. Ya. Lombok tengah panas sekali hari itu, atau kami saja yang terbiasa dengan hawa di Lombok? Entahlah, yang penting liburaaan. Hhi.

Tanpa ba-bi-bu, bapak driver separuh baya yang sudah ahli di bidangnya itu melajukan Elf Pregio yang penuh sesak. Oleh tubuh kami ber-8 yang tidak ada kurus-kurusnya (kecuali duo programmer, suami saya dan seorang kawan berjurus "Tau Diri") dan tas ransel yang berjejal kesana kemari. Sepanjang perjalanan, sang bapak 2 orang anak ini menceritakan berbagai kisah dan kasih (loh?). Tentang batang padi yang tidak ada hijau-hijaunya, ya Padi Gogo namanya. Padi yang ditanam pada sawah tadah hujan, berbulir besar, dan tinggi-tinggi layaknya rumput gajah. Siapa yang menyangka ia adalah sumber pangan utama bagi penduduk lokal. Kami yang awalnya mengira bahwa kanan kiri jalan hanyalah segerombol rumput kering hanya menjawab dengan ber-ooh-ria. Sambil sesekali mencomot camilan hasil menjelajah modern market (in**mar**). 

Setelah mata dipenuhi oleh Padi Gogo, daerah selanjutnya mulai membuat mata terbelalak, barisan pantai biru beserta pasirnya yang bersih memanjakan mata kami. Belum puas kami merasa takjub, si kotak besi beroda empat dipacu melewati deretan kapur. Jalanan mulai meliuk-liuk manja bak tubuh Mbak Syahrini yang cetar membahana. Mabuk?

Jangan tanya. Kata mabuk hari itu menghilang dari kamus kami ber-8. Bukit-bukit di kanan kiri jalan menjulang sangat indah. Bagi saya, ini melampaui keindahan deretan pantai pada perjalanan sebelumnya. Pepohonan rimbun yang hijau dan sesekali diselingi kebun penduduk desa setempat itu entah mengapa lebih menentramkan. Sejuk, ayem, tentrem, indah bukan kepalang. Jikalaulah di mesin kotak itu hanya ada saya dan suami, pasti saya akan dengan hati riang menyanyikan lagu ini :

Mendaki gunung lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samudera
Bersama teman bertualang


Bayangan ninja hatori yang melompat-lompat dari satu bukit ke bukit lainnya muncul sekejap, sebelum akhirnya teriakan si Asong membuyarkan lamunan ;

"Kita ke pantai atau kemana, Lil?"
"Ke Bukit Merese dulu ya Pak," Jawabku singkat
"Siap, Mbak," Bapak driver menyahut.

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 45 menit dari Bandara Lombok Praya atau sekitar 26 km, kami tiba di destinasi utama hari itu. Bukit Merese. Deretan bukit yang berada di Lombok Tengah. Sesampainya di sana, saya sedikit kecewa. Dengan pemandangan luar biasa selama perjalanan, destinasinya begini? Mobil-mobil parkir sesuka hati di tanah lapang itu. Debu sesekali mengepul ke udara ketika ada kendaraan datang atau ketika ada anak-anak kecil berlarian menjajakan dagangannya. "Tapi yasudahlah, sudah sampai di sini. Kalaupun jelek, mungkin memang review di berbagai website dan akun media sosial saja yang kurang objektif," batin saya sedikit murung.

Pasang topi, pakai sendal, berangkat mendakiii. Menit-menit awal saya masih menemui area gersang. Semakin ke atas, mata mulai disambut hamparan rumput hijau yang berbukit-bukit. Bapak driver yang hari itu menjadikan dirinya sendiri sebagai guide, mengajak kami untuk terus naik. Sekitar 10 menit perjalanan, kami mencapai puncak salah satu bukit. Jadi, coba bayangkan kamu sedang berada di hamparan rumput yang berbukit-bukit. Tak terhitung jumlah lembah dan bukit di depanmu. Dan kini, kamu baru saja mencapai satu bukit yang berbatasan dengan laut.

source : thelangkah.com

Hijau, damai, dan hei! 

Itu laut. Itu laut. Bukan biru seperti laut pada umumnya. Bukan biru seperti laut yang menyambut di tengah perjalanan tadi. Ini biru tosca. Perpaduan antara biru dan hijau. Dengan deburan ombak yang sesekali saja nampak garang.

Itu laut. Itu laut. Yang selama ini kukira tak mungkin berwarna begitu. Yang kukira hanya hasil rekayasa kamera canggih dan para designer grafis. Itu laut. Warna biru tosca seperti warna yang kugemari baru-baru ini. Saya berlari kesana-sini. Jejingkrakan karena bahagia. Suami saya hanya tersenyum. Ada gadis kecil yang lama tak muncul dari dalam diri saya. Ia hadir. Karena laut warna biru tosca itu. Sungguh.

source : lombokgilis.com

"Mas Yud, are you happy ?" teriak saya kepada lelaki baik hati itu. Ia mengangguk semangat.

Bukit ini memang luar biasa cantiknya. Kemarilah. Tapi jangan lupa memeliharanya. Bukit ini tidak untuk dikotori. Jangan tinggalkan botol bekas air minummu. Jangan tinggalkan bungkus permenmu. Jangan pula tinggalkan pacarmu di sini (hhe..). Saya tak bisa bercerita banyak meski saya mengingat jelas pemandangan yang membuat mata saya berbinar-binar itu. Datanglah ke Bukit Merese, intiplah surga dari bukit ini.

Leblung and the genk

Jangan Ditiru! Hhe
Tempat Tepat Untuk Merenung
Boleh Kalau Sudah Halal yaa..

Oh ya, selain pemandangan itu, Bukit Merese juga spot yang bagus untuk menikmati matahari tenggelam. Lihat video di bawah ini :

https://www.instagram.com/p/BSU6mVAhVyp/?r=wa1

Suatu waktu nanti, saya ingin Ibu, Bapak, Mas, dan Siska ke sini. Surga dunia ini terlalu sayang hanya untuk saya kenang bersama suami.

You Might Also Like

0 komentar: