Merantaulah, Agar Kau Tegar Saat Dunia Tak Lagi Selembut Potongan Chiffon Cake
Hari ini, saya kedatangan tamu yang sudah cukup jarang berkunjung. Dismenorea namanya. Atau orang-orang lebih sering menyebutnya "Nyeri Haid". Siksanya sudah tak seperih dan selama dulu. Tapi ingatan tentang ibu langsung muncul tanpa bisa dibendung. Ya. Jaman SMP hingga awal kuliah, tamu ini rutin datang tiap bulan. Jika yang lain didatangi hanya dalam waktu 3 hingga 4 jam, maka ia setia menemani hingga dua hari penuh. Jika yang lain perlu surat dokter untuk mendapat izin tidak masuk karena sakit, maka saya hanya perlu mengirim sms kepada Ibu Wali Kelas dan jawabannya akan sama, "Iya Lel, cepet sembuh ya. Gak papa gak masuk asal gak ketinggalan pelajaran." Ia hafal di luar kepala jadwal saya didatangi tamu ini.
Jika Dismenorea bertamu, barang tentu ibulah yang paling sibuk menyiapkan segelas besar teh manis hangat. Mengganti air hangat di botol kaca setiap beberapa jam untuk mengompres perut. Membuatkan air rebusan temulawak. Menyuapi makan agar obat penghilang nyeri bisa kuminum tepat waktu (meski seringkali tak berefek, sakitnya tetap luar biasa. Tapi minimal saya bisa tidur pulas sejenak). Melumasi perut dan punggung saya dengan minyak kayu putih. Dan entah membuat ramuan apa saja yang kata orang bisa meredakan sakit saya.
Jika Dismenorea bertamu, Ibulah yang dengan sabar menanti di sebelah. Tanpa kata. Tanpa gerak-gerik serampangan, karena tempat tidur bergerak sedikit akan membuat saya merasakan nyeri luar biasa. Sakit saya tergolong abnormal. Hingga sang Bu Dokter menyarankan saya USG saat duduk di kelas I bangku SMA. Tak ada yang salah dengan anatomi rahim saya. Dan lagi-lagi, hanya obat penghilang nyeri yang kami bawa pulang.
Suatu waktu, di tengah kunjungan si Dismenorea, ibu berkata, "Sampean yak apa ya Nak kalo nanti kerja jauh dari Ibu? Gimana kalo sakit gini?" Saya hanya tersenyum. "Nanti cari ibu kos dan temen yang baik ya. Minta beliin bubur buat sarapan kalo pas sakit." Maka raut wajah dan kalimat itu selalu datang tiap kali si Dismenorea berkunjung. Dan pasti saya akan berakhir meringkuk di bawah selimut. Menahan sakit dan sedih di waktu yang bersamaan. Cemen ya?
Jika Dismenorea bertamu, barang tentu ibulah yang paling sibuk menyiapkan segelas besar teh manis hangat. Mengganti air hangat di botol kaca setiap beberapa jam untuk mengompres perut. Membuatkan air rebusan temulawak. Menyuapi makan agar obat penghilang nyeri bisa kuminum tepat waktu (meski seringkali tak berefek, sakitnya tetap luar biasa. Tapi minimal saya bisa tidur pulas sejenak). Melumasi perut dan punggung saya dengan minyak kayu putih. Dan entah membuat ramuan apa saja yang kata orang bisa meredakan sakit saya.
Jika Dismenorea bertamu, Ibulah yang dengan sabar menanti di sebelah. Tanpa kata. Tanpa gerak-gerik serampangan, karena tempat tidur bergerak sedikit akan membuat saya merasakan nyeri luar biasa. Sakit saya tergolong abnormal. Hingga sang Bu Dokter menyarankan saya USG saat duduk di kelas I bangku SMA. Tak ada yang salah dengan anatomi rahim saya. Dan lagi-lagi, hanya obat penghilang nyeri yang kami bawa pulang.
Suatu waktu, di tengah kunjungan si Dismenorea, ibu berkata, "Sampean yak apa ya Nak kalo nanti kerja jauh dari Ibu? Gimana kalo sakit gini?" Saya hanya tersenyum. "Nanti cari ibu kos dan temen yang baik ya. Minta beliin bubur buat sarapan kalo pas sakit." Maka raut wajah dan kalimat itu selalu datang tiap kali si Dismenorea berkunjung. Dan pasti saya akan berakhir meringkuk di bawah selimut. Menahan sakit dan sedih di waktu yang bersamaan. Cemen ya?
source : aditpermana.wordpress.com |
Itu salah satu tantangan berat yang belum saya tahlukkan hingga kini. Awal merantau, saya tak mau mendengar suara ibu. Saya melarangnya menelpon. Cukup sms saja. Kejam ya? Iya. Karena mendengar suara beliau pasti akan membuat saya menangis semalaman suntuk. Ya. Sekali menangis, akan susah bagi saya untuk berhenti. Meski dengan keputusan itu, saya harus menahan sedih tiap kali teman sekamar saya ditelpon ibunya (setiap hari). Mencoba ber-haha-hihi. Menjahili rekan kerja yang lain. Mencari-cari kegiatan agar bayangan ibu terlupakan.
Ahh. Merantau menyiksaku. Tapi benar adanya bahwa merantau adalah ajang menempa diri agar kita kuat saat masalah menghadang. Saat rasanya dunia tak lagi selembut potongan Chiffon Cake. Tapi merantau juga ada keuntungan dan hikmahnya loh. Apa aja sih keuntungan merantau?
Ahh. Merantau menyiksaku. Tapi benar adanya bahwa merantau adalah ajang menempa diri agar kita kuat saat masalah menghadang. Saat rasanya dunia tak lagi selembut potongan Chiffon Cake. Tapi merantau juga ada keuntungan dan hikmahnya loh. Apa aja sih keuntungan merantau?
1. Belajar Mengatur Keuangan
Merantau berarti siap untuk mandiri. Termasuk untuk masalah finansial. Maksudnya? Jikalau kamu tinggal serumah, semua kebutuhan terpenuhi, kalaupun ada kebutuhan di luar kebiasaan, kamu tanpa segan akan meminta dana tambahan kepada orang tua. Tapi saat merantau, rasa malu untuk meminta uang lebih akan muncul tanpa disadari. Saya tak tahu pasti alasannya. Namun itu terjadi pada saya dan rekan-rekan saya yang lain.source : www.dvmannion.ie |
Dengan begitu, kita akan menuntut diri kita untuk lebih disiplin dalam mengatur keuangan. Beberapa mungkin sudah matang mengatur keuangan sejak kecil, tapi tidak sedikit bukan yang termasuk golongan saya? Alias menabung untuk kemudian dihabiskan lagi. Hhi. Dengan merantau, saya sedikit demi sedikit belajar menata keuangan saya. Berapa yang digunakan untuk makan, bayar kos, biaya jalan-jalan, ditabung, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
2. Belajar Menjalin Hubungan dengan Orang Baru
Saya tergolong orang yang susah untuk dekat dengan orang baru dan lebih suka menikmati dunia saya sendiri. Saya bisa nge-mall seorang diri berteman imajinasi saya. Kebutuhan bersosialisasi sudah dipenuhi saat bercengkrama dengan Ibu, Bapak, Kakak, dan teman-teman dekat. Kalaupun ada apa-apa, mereka sudah barang tentu ada dan siap sedia membantu tanpa dikomando.source : www.dgreetings.com |
Tapi di dunia yang baru, hal tersebut tidak berlaku. Maka hal yang mutlak bagi saya untuk belajar bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Mulai dari rekan kerja, Bapak - Ibu Kos, Bapak Tukang Sate, Ibu Sayur depan kos, Mas-Mas Tukang Ojek, hingga satpam komplek. Ini tidak lain dan tidak bukan selain karena suatu saat saya pasti butuh mereka, saya harus mengisi ruang kosong di hati saya yang bernama "kehangatan keluarga". ^.^
3. Belajar Menghargai Waktu Bersama Orang Tersayang
Merantau itu juga berarti tak lagi memiliki banyak waktu untuk bertemu dan bercengkrama dengan orang tersayang. Ini menjadikan kita menghargai tiap waktu yang dimiliki saat bersama orang terkasih. Saat berada di rumah, usahakan semaksimal mungkin menjauh dari dunia maya.source : www.serenataflowers.com |
Sebagian besar dari kita sudah sadar dengan pernyataan ini, "Teknologi itu mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat." Dengan merantau, kita akan berusaha membunuh pernyataan kedua (menjauhkan yang dekat) karena saat-saat bersama mereka adalh hal yang kita rindukan. Maka secara pasti kita tidak akan melewatkan waktu-waktu berharga itu demi media sosial, youtube, dan lain-lainnya.
4. Bisa Explore Lebih Banyak Hal
Awalnya mungkin mengunjungi tempat baru, mencoba kegiatan baru, dan membuat kesibukan baru adalah hal yang dilakukan untuk membunuh rindu akan kampung halaman. Tapi justru hal tersebutlah yang membuka mata kita akan hal-hal baru yang belum kita ketahui sebelumnya. Yang barang tentu di dalamnya banyak pelajaran dan pengetahuan-pengetahuan baru yang bermanfaat bagi kita.source : www.youtube.com |
5. Belajar Berani dalam Segala Hal
Jika berada di rumah, menghadapi sesuatu yang sedikit sulit, kita akan dengan mudah meminta kakak atau orang tua untuk mendampingi. Tapi di perantauan, kita tak mungkin bisa mengandalkan hal tersebut. Kita dituntut untuk bisa berani dalam segala hal. Kan ada teman? Iya, tapi bukan berarti mereka juga tidak mungkin suatu saat akan ada kesibukan saat kita membutuhkan pendampingan mereka toh? Maka Bonek (Bondo Nekat = Modal Nekat) adalah hal yang pasti kita tempuh.Hal ini lama-kelamaan akan menempa kita menjadi seorang yang berani, mandiri, dan bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri.
Meski merantau menyiksa, ternyata ada untungnya juga yaa. Semangat merantaaau!
wiidihh,,, berat euy bahasannya
ReplyDeleteSesekali-lah bahasannya yang berat. Masa badan saya doang yang berat Mas. hhi
Delete