Perjuangan Perpanjang Sim C Belum Berakhir
Kok geli ya baca judulnya? Hha. Jadi inget reality show jaman baheula berjudul “Termehek-mehek” yang hostnya Cici Panda sama Mandala Shoji. Kan ada sebutannya Pejuang Tangguh tuh di situ (seingetku sih. Hhe). By the way, masih ingat kisah saya di blogpost “Keliling Kota Demi Perpanjang Sim C”? Yang panik-panik karena ternyata SIM Keliling di Purwakarta belum bisa melayani perpanjangan SIM dari SIM dan KTP luar kota itu loh. Hahaha. Saya lanjutkan cerita perjuangan saya yaa..
Dengan kepanikan yang naik level lagi setelah tahu tak bisa mengurus perpanjangan SIM C di Mobil SIM Keliling Purwakarta, saya memacu si Merah lebih kencang. Begitu sampai Polres, buru-buru saya parkir si Merah dan lari ke Loket Pendaftaran. Di belakang si Bapak Polisi, tertempel kertas manila berwarna putih dengan tulisan tangan. Terbaca :
Dengan kepanikan yang naik level lagi setelah tahu tak bisa mengurus perpanjangan SIM C di Mobil SIM Keliling Purwakarta, saya memacu si Merah lebih kencang. Begitu sampai Polres, buru-buru saya parkir si Merah dan lari ke Loket Pendaftaran. Di belakang si Bapak Polisi, tertempel kertas manila berwarna putih dengan tulisan tangan. Terbaca :
“Pak, saya mau perpanjang SIM.”
“Itu syaratnya sudah?” katanya sembari menunjuk kertas manila yang telah khatam saya baca.
“Tes kesehatan dimana, Pak?”
“Itu syaratnya.”
“Iya Pak, tes kesehatannya dimana? Klinik depan?”
“Di sebelah. Keluar Polres belok kanan.”
“Di luar neng..” Ibu-ibu kantin Polres yang ada di dekat Loket Pendaftaran ikut menyahut.
Tanpa babibubaba, saya lari ke arah yang ditunjuk. Sebuah klinik super mini dengan banyak motor terparkir di depannya dan sebuah gerobak mie ayam yang banyak pembelinya teronggok lusuh di sana. Tak ada perawat. Hanya ada seorang laki-laki paruh baya berbadan kecil, berkulit coklat, mengenakan kemeja pendek garis-garis, celana kain warna hitam, dan sandal kulit sintetis di balik tirai warna hijau yang hanya tertutup sebagian. Di dalam klinik sudah ada banyak orang duduk-duduk di meja antrian. Di atas sebuah kursi plastik, terdapat nomor-nomor antrian sederhana. Melihat yang duduk-duduk memegang kartu itu, jadilah saya langsung ambil nomor. Tertulis di kertas manila berwarna pink itu, angka 24. Saya lega. Kok? Kalau semua yang daftar diharuskan tes kesehatan di sini, berarti baru ada kurang dari 23 orang yang tes dong. Saya masih masuk dalam kuota blangko SIM yang katanya cuma 100 per hari itu.
Satu per satu pasien dipanggil sesuai nomor urut. Sependengaran saya, hanya ditanyai golongan darah dan tes buta warna. Sesekali ada yang diukur tinggi dan berat badannya. Tak ada pengukuran denyut nadi atau tensi meski saya lihat di meja belakang si dokter ada alat itu. Hmm. Entahlah. Di sebelah saya duduk perempuan muda berusia 18 tahun dengan memegang nomor antrian 23. Kami berbincang-bincang sedikit untuk mencairkan suasana. Setelah dia dipanggil, saya menggeser duduk saya ke ujung kursi tunggu. Dari situ, nampak jelas wajah si dokter. Alih-alih memeriksa si perempuan muda itu. Dia berkata ;
“Itu syaratnya sudah?” katanya sembari menunjuk kertas manila yang telah khatam saya baca.
“Tes kesehatan dimana, Pak?”
“Itu syaratnya.”
“Iya Pak, tes kesehatannya dimana? Klinik depan?”
“Di sebelah. Keluar Polres belok kanan.”
“Di luar neng..” Ibu-ibu kantin Polres yang ada di dekat Loket Pendaftaran ikut menyahut.
Tanpa babibubaba, saya lari ke arah yang ditunjuk. Sebuah klinik super mini dengan banyak motor terparkir di depannya dan sebuah gerobak mie ayam yang banyak pembelinya teronggok lusuh di sana. Tak ada perawat. Hanya ada seorang laki-laki paruh baya berbadan kecil, berkulit coklat, mengenakan kemeja pendek garis-garis, celana kain warna hitam, dan sandal kulit sintetis di balik tirai warna hijau yang hanya tertutup sebagian. Di dalam klinik sudah ada banyak orang duduk-duduk di meja antrian. Di atas sebuah kursi plastik, terdapat nomor-nomor antrian sederhana. Melihat yang duduk-duduk memegang kartu itu, jadilah saya langsung ambil nomor. Tertulis di kertas manila berwarna pink itu, angka 24. Saya lega. Kok? Kalau semua yang daftar diharuskan tes kesehatan di sini, berarti baru ada kurang dari 23 orang yang tes dong. Saya masih masuk dalam kuota blangko SIM yang katanya cuma 100 per hari itu.
Satu per satu pasien dipanggil sesuai nomor urut. Sependengaran saya, hanya ditanyai golongan darah dan tes buta warna. Sesekali ada yang diukur tinggi dan berat badannya. Tak ada pengukuran denyut nadi atau tensi meski saya lihat di meja belakang si dokter ada alat itu. Hmm. Entahlah. Di sebelah saya duduk perempuan muda berusia 18 tahun dengan memegang nomor antrian 23. Kami berbincang-bincang sedikit untuk mencairkan suasana. Setelah dia dipanggil, saya menggeser duduk saya ke ujung kursi tunggu. Dari situ, nampak jelas wajah si dokter. Alih-alih memeriksa si perempuan muda itu. Dia berkata ;
“Keluarga dokter ya?”
“Eh?” jawab saya untuk memastikan pertanyaan.
“Teteh keluarga dokter?” ujarnya lagi sambil menscan saya dari ujung kepala hingga kaki.
“Oh bukan. Saya mau perpanjang SIM.”
“Kirain keluarga dokter,” ujarnya sambil tersenyum.
“Mm, cita-cita saya sih jadi dokter bedah forensik dulu,” batin saya. Hhe..
Setelah perempuan muda selesai, saya dipanggil. Dan benar. Si Dokter cuma menanyakan golongan darah, tahu tinggi dan berat badan saya sendiri ndak, urus SIM apa, dan tes buta warna 2 lembar. Selesai. Untuk tes kesehatan ini, saya mengeluarkan uang Rp 30.000 saja. Surat sehat sudah di tangan. Saya kembali lari ke Loket Pendaftaran.
Saya menyerahkan semua syarat yang diwajibkan. Sang Bapak Polisi mengambil satu map kertas berwarna biru lalu men-staples semua syarat itu termasuk kartu SIM saya yang lama. “Isi ini dulu, Teh.” Di dalam map terdapat blangko berukuran A3 yang sudah dilipat 2. Kami hanya diwajibkan mengisi halaman pertama yang berisi :
Saya lupa foto blangkonya, jadi ini nyomot dari blog ilhabibi.com. Sedangkan halaman kedua berisi keterangan lulus atau tidaknya persyaratan administrasi, hasil uji teori, hasil uji praktek 1, dan hasil uji praktek 2 yang nantinya akan diisi oleh petugas dari Polres Purwakarta. Setelah selesai mengisi formulir, saya dipersilahkan masuk ke Ruang Registrasi yang berada di sebelah kiri Loket Pendaftaran. Di situ, berkas dan formulir yang telah diisi diletakkan di meja. Saya antri kembali untuk menunggu proses regitrasi online yang dilakukan oleh petugas. Sekitar 10 menit menunggu. Nama saya dipanggil.
“Laily Amalia…”
“Iya Pak”
“Laily Amalia R ya?”
“Asli Malang, lahir 23 Desember 1990 ya?”
“Nama ibu kandung siapa?”
“Yablablabla….”
“Ayah kandung?”
“Mublablabla…”
“Oke. Data sudah benar, silakan masuk ke Ruang Foto di sebelah ya..”
“Baik Pak, terimakasih.”
Saya pun pindah ke ruang sebelah. Ruang Tunggu Foto yang ukurannya lebih kecil dari Ruang Tunggu Registrasi. Satu per satu antrian dipanggil. Sekitar 15 menit berselang. Nama saya dipanggil sesuka bapaknya.
“Laila Amalia..”
“Iya Pak..”
“Silakan duduk”
“Oh maaf, Laily Amalia yaaa.. Asli Malang, lahir 23 Desember 1990 ya. Silakan kacamatanya dilepas dulu, kita foto. Yak sudah. Kacamata boleh dipakai kembali, sekarang silakan tanda tangan digital di sini. Sudah? Sekarang sidik jari dulu kanan kiri. Sudah.. Silakan bawa berkas ini ke Ruang Ujian Teori.”
“Terimakasih, Pak..”
“Alamaaak. Kok pake ujian segala? Jangan-jangan ujian praktek juga aku nih? Bukannya perpanjang gak pakai ujian ya?” batinku rusuh. Setelah masuk ke Ruang Teori yang berada di depan Ruang Foto, terjadilah percakapan ini :
“Iya Teh?”
“Mau perpanjang SIM C, Pak.”
“Oh iya.”
Lalu Bapak Petugas langsung membubuhkan tanda tangan dan stempel di kolom Ujian Teori pada halaman kedua formulir. Saya melongo. Heran sekaligus bahagia. Dan di depan saya, berjejer komputer-komputer ujian teori yang kosong tak bertuan.
“Silahkan ke Lapangan Uji Praktek ya. Di sana cuma minta tanda tangan dan stempel kok.”
“Silahkan ke Lapangan Uji Praktek ya. Di sana cuma minta tanda tangan dan stempel kok.”
Hhe. Nampaknya si Bapak Petugas tau kalo saya panik mau diuji. Dengan hati sedikit lapang, saya menuju Lapangan Uji Praktek. Di depan saya, jalur-jalur untuk ujian praktek terpampang nyata dan kosong melompong. Saya berjalan ke arah ruangan di pinggir lapangan. Di situ, kembali saya serahkan map kertas berisi formulir dan berkas pendukung. Lagi-lagi, tanpa babibubaba, si Bapak Petugas membubuhkan tanda tangan di kolom Ujian Praktek 1 dan Ujian Praktek 2 pada halaman kedua formulir. Setelahnya, saya diminta ke ruang sebelah yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ruang Pengambilan SIM.
Yuhuuu. SIM baru akan segera saya genggam. Begitu masuk ruangan, ada Ibu-Ibu petugas yang menyapa saya ramah.
“Siniin Teh berkasnya. Perpanjang SIM C ya? Biayanya 75 ribu yaa.. Bayar di sini.”
Saya menyerahkan selembar uang Rp 100.000,-.
“Ini kembaliannya dan ini struknya. Struknya dimasukin ke kotak putih di loket itu ya. Setelah itu, tunggu aja tinggal ambil SIM-nya.”
“Baik Bu. Terimakasih.”
Biaya ini sesuai dengan keterangan yg ada di www.polri.go.id, bahwa menurut PP Nomor 50 Tahun 2010 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang termaktub (bahasanyaa) dalam lampiran, disebutkan 1. 1. Biaya Penerbitan Baru :
a. SIM A : Rp 120.000,-
b. SIM B I : Rp 120.000,-
c. SIM B II : Rp 120.000,-
d. SIM C : Rp 100.000,-
e. SIM D : Rp 50.000,-
f. SIM Internasional : Rp 250.000,-
2. Biaya Perpanjangan SIM :
a. SIM A : Rp 80.000,-
b. SIM B I : Rp 80.000,-
c. SIM B II : Rp 80.000,-
d. SIM C : Rp 75.000,-
e. SIM D : Rp 30.000,-
f. SIM Internasional : Rp 225.000,-
So, it means no pungli-pungli yaaa.. Setelah itu, saya pun melakukan instruksi si Ibu Petugas yang ramah itu. 5 menit kemudian, nama saya kembali dipanggil.
c. SIM B II : Rp 120.000,-
d. SIM C : Rp 100.000,-
e. SIM D : Rp 50.000,-
f. SIM Internasional : Rp 250.000,-
2. Biaya Perpanjangan SIM :
a. SIM A : Rp 80.000,-
b. SIM B I : Rp 80.000,-
c. SIM B II : Rp 80.000,-
d. SIM C : Rp 75.000,-
e. SIM D : Rp 30.000,-
f. SIM Internasional : Rp 225.000,-
So, it means no pungli-pungli yaaa.. Setelah itu, saya pun melakukan instruksi si Ibu Petugas yang ramah itu. 5 menit kemudian, nama saya kembali dipanggil.
“Laily Amalia..”
Lalu SIM C baru disodorkan melalui lubang kecil pada loket. Mata saya berbinar bahagia. Horeeee..! Berakhirlah sudah perjalanan panjang demi perpanjang SIM C ini..
0 komentar: