Sabtu Bersama Bapak, Kok Bukan Bersama Pacar?
Sabtu. Kok bersama Bapak? Bukan
bersama pacar ya?
Kita yang sudah terbiasa melabeli
hari Sabtu sebagai hari kencan sedunia akhirat, pasti sudah berpikiran tulisan
ini pasti berisi materi bagus untuk referensi kencan. Entah sekadar makan
berdua, nonton film, atau jalan-jalan sambil ngobrol kesana kemari. Woi! Bukan
woi! Hha.
Ya. Ini memang ‘Sabtu Bersama Bapak’.
Judul sebuah novel ciamik karya Adhitya Mulya, yang konon menurut informasi
dari instagram si penulis, @adhityamulya, tepat pada 22 Januari 2016 lalu buku
ini dicetak untuk kali ke-delapan belas,
Ini artinya buku ini masih dalam list pencarian pembaca sejak cetakan pertama
diterbitkan, yaitu pada bulan Juni tahun 2014 silam. Pencapaian yang cukup
bagus bukan?
Nah ya, lalu jika Anda bertanya,
mengapa resensi ini baru dibuat saat buku sudah mencapai cetakan ke-18? Tidak
lazim. Basi. Bukan itu, Saudaraku sebangsa dan setanah air. Saya juga telat
mengetahui keberadaan buku ini. Saya baru menyentuh buku yang terdiri atas 277
halaman ini pada akhir bulan Desember lalu. Saat seorang teman baik
memberikannya sebagai kado ulang tahun, dan tertera di halaman depan “Cetakan
ketujuh belas, 2015”. Hhi. Tapi, karena isinya yang menginspirasi dan mendidik
tanpa menggurui, maka dengan semangat ’45 dan tekad sekuat baja, saya membuat
resensi ini. Setidaknya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi Anda yang belum
tau buku ini, dan bisa segera pergi ke toko buku atau mencarinya di online book
store. ^.^
Baiklah. Mari kita mulai.
27 Desember 1991
Pak Gunawan berada di dalam gambar. Dia tampak segar dan cerah ceria.
“Hai,
Satya! Hai, Cakra!” Sang bapak melambaikan tangan.
“Ini Bapak.
Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak cuma
pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah, berkat doa Satya dan Cakra.
Mungkin
Bapak tidak dapat duduk dan bermain di samping kalian.
Tapi, Bapak
tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap
dapat bercerita kepada kalian.
Ingin tetap
dapat mengajarkan kalian.
Bapak sudah
siapkan.
Ketika
kalian punya pertanyaan, kalian tidak pernah perlu binggung ke mana harus
mencari jawaban.“
Video
pertama sang Bapak untuk kedua anaknya, Satya Garnida (5 tahun) dan Cakra
Garnida (2 tahun). Ya. Pak Gunawan, ayah mereka berdua dan suami dari ibu Itje,
meninggal di usia 38 tahun akibat kanker. Namun, Pak Gunawan adalah sosok yang
hidupnya terencana. Maka ia tidak membiarkan kematian merenggut kebersamaan dan
tugas untuk mendidik kedua buah hatinya. Jadilah setiap Sabtu sore, rutinitas
untuk Satya dan Cakra adalah menonton video sang Bapak. Satu waktu mereka
terdengar tertawa riang, satu waktu hening tanpa suara. Ya. Bapak menyampaikan
pesan dan nasihatnya sesuai dengan kebutuhan kedua buah hatinya. Semakin bertambah
dewasa, makin berat pula nasihat yang Bapak sampaikan.
Singkat
cerita, Satya tumbuh menjadi sosok cerdas dan tampan, banyak gadis cantik yang
silih berganti menerangi dunianya. Sedangkan Cakra yang memiliki wajah tidak
cukup baik dibanding kakaknya, betah hidup sendirian dan berfokus pada karirnya
di dunia perbankan. Perjalanan cinta keduanya dimulai.
Satya
melabuhkan cintanya pada Rissa, gadis cantik kembang kampus yang juga pandai. Keduanya
dikaruniai 3 jagoan (Ryan, Dani, dan Miku). Namun, Satya tumbuh menjadi bapak
yang tempramen, menuntut ketiga putranya menjadi sosok cemerlang seperti
dirinya. Satu waktu mereka bertengkar hebat karena Satya membuat Ryan menangis
histeris. Dan pertengkaran berakhir dengan sebuah email dari Rissa:
Kang, on
your next week off, kamu mending gak usah pulang deh. Kami semua di sini capek
sama kamu.
Lebih capek
lagi adalah sebuah kenyataan bahwa seorang istri sampai harus bilang semua ini
dalam bentuk email karena kalau ngomong, kita hanya akan saling menyakiti. Dan
saya tidak ingin itu. Tidak ingin kita pergi serendah itu.
Ryan, Miku,
dan Dani, sebenernya takut menyambut seorang bapak.
Saya,
jarang menyambut seorang suami.
Kami
berempat selalu menyambut orang yang sering marah-marah. Kami kangen sama
Kakang, tapi setiap Kakang pulang, selalu ada yang salah.
Masakan
saya salah.
Rumah
kurang rapi.
Kenapa Dani
belum bisa berenang.
Kenapa Miku
masih ngompol.
Kenapa Ryan
jelek trus matematikanya..
...
Ya. Part
Satya menceritakan perjalanan Satya menjadi bapak yang baik, yang mendidik anak
sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki dan bukan menjadikan mereka seperti
dirinya. Tidak hanya itu, part ini juga mengisahkan bagaimana sepasang suami
sudah sewajarkan saling membahagiakan satu sama lain. Termasuk menjaga
kesehatan dan bentuk tubuh agar tetap menarik di mata pasangan. Jangan cantik jelita sewaktu pacaran, tapi
jadi pake daster doang kalo ada suami di rumah. Atau yang dulunya gagah, berotot besi, dan bertulang baja, giliran
sudah menikah jadi bapak-bapak gembul bin buncit kayak ibu hamil di RT sebelah
(kenapa jauh amat ke RT sebelah, Blung? Yaaah. Lebay dikit gapapa-lah. Hha).
Di bagian
yang lain, bagian yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik Cakra Garnida. Sang
jomblowan sejati berhasil menjadi salah satu dari 2 orang yang sukses menduduki
jabatan Deputy of Director sebelum usia 30 tahun. Yah bisa dibilang karirnya
melesat cepat dan membuat mata terpikat. Eitts. Tapi kok masih jomblo?
...
“Mam...
sebenernya ada kok, alasan kenapa Saka sampai sekarang gak nikah. Atau belum
punya pacar.”
“...”
“Saka
membuktikan kepada diri sendiri dulu. Bahwa Saka siap lahir batin untuk menjadi
suami. Makanya negjar karier dulu. Belajar agama dulu. Nabung dulu. Kalau Saka
udah pede sama diri sendiri, Saka akan pede sama perempuan.”
...
Cerita Cakra
dimulai dengan video Pak Gunawan tentang penundaan pernikahan yang dilakukannya
dulu. Karena beliau percaya bahwa menikah itu banyak tanggung jawabnya. Tanggung
jawab untuk anak dan keluarga. Sehingga memutuskan
menikah berarti sudah memiliki rencana yang matang untuk hari depan.
Part Cakra
dilengkapi dengan kisahnya mengejar cinta Ayu. Sesosok muda, 25 tahun, cantik,
pintar, dan untuk kali pertama berhasil membuat otak si Cakra nge-blank. Namun,
tidak seru jika tanpa kompetisi. Ya. Proses meluluhkan hati Ayu dilengkapi
dengan 2 ujian:
1. Menghadapi
diri Cakra sendiri yang mudah gugup saat di dekat Ayu, menjadikannya lelaki
aneh dan ‘gak banget’
2. Menghadapi
Salman, another young and briliant
Deputy of Director yang lihai menahlukkan hati wanita.
Di satu
waktu, saat Cakra hampir putus asa karena menganggap ia telah kalah oleh
Salman, sang ibu memintanya untuk berkenalan dengan anak gadis salah satu
temannya bernama Retna. Siapakah yang akhirnya menjadi pendamping Cakra? Ayu ataukah
Retna?
^.^ You
better find out it by yourself. Karena Adhitya Mulya berhasil membuat ending
yang tidak tertebak. Penulisan dengan alur maju ini membuat kita mudah
mengikuti jalan cerita meski berlompatan dari kehidupan Satya, pindah ke Cakra,
dan terkadang melompat jauh ke kehidupan Bu Itje. Nasihat-nasihat sang Bapak
juga dituturkan melalui cerita sederhana yang memiliki makna mendalam. Jadi bagi
kamu yang jomblo, sudah punya pacar, calon pengantin, atau bahkan yang sudah
menikah, buku ini bisa jadi bacaan yang membangun. Gak ada kata terlambat untuk
berubah menjadi baik bagi orang-orang yang kita sayangi bukan?
Mari
membaca dan mari berubah!
4 komentar: