Tarawih Berjama'ah, Kuy-lah Lurusin Shaf-nya !
"Pak, Bapaaak. Antos ilo nakal. Tempat tarawih kita diambil," teriak Laily kecil kepada Bapaknya yang menjabat sebagai imam sholat tarawih saban Sabtu-Minggu.
"Tos, ayo yang laki-laki pindah ke dalam," timpal Bapak seraya mengusir Antos, teman kecilku, dari markas para gadis kecil.
Dan yang terjadi berikutnya adalah saya, Mbak Fia, Winda, dan teman-teman cewek yang lain gerudukan menuju spot itu. Spot andalan. Spot yang disediakan oleh para pengurus mushola bagi kami, para gadis kecil yang hobi cekikikan saat sholat.
Yass. Itu masa dimana saya masih hobi berisik, cekakak-cekikik saat sholat tarawih. Saat dimana tarawihnya bolong-bolong karena lelah. Shalat 4 rakaat, istirahat 2 rakaat, sholat lagi, istirahat lagi, dan begitu seterusnya. Cuma sholat witirnya yang gak pake istirahat (ya iya, Liiiil! Cuma 3 rakaat ini. hhe).
Di jaman itu sih gak ada namanya anak kecil diusir dari masjid atau mushola karena berisik. Yang ada sih diomelin ibu-ibu, dicubit, dipelototin, dan sejenisnya. Tapi kami tetap saja bandel. Besoknya tetap datang dengan riang dan mengulangi kesalahan yang sama : berisik. Wkwkwk. Mungkin sih, karena itu, para pengurus mushola memberi win-win solution. Yaitu memberi kami markas andalan. Letaknya di luar mushola, di pojok kanan, dilingkupi pagar sederhana yang terbuat dari bambu. Ih, jelek dong! Eihhh, sejuknya luar biasa meeen! Jadilah kami selalu berusaha menguasai tempat itu. Hhaha. Badung yaa?
Waktu berlalu, Laily kecil telah bertambah usianya. Mungkin ini terjadi saat saya duduk di kelas 3 SD, saya pulang tarawih dengan wajah murung,
"Paaak. Bu Parni lho nakalan. Masa' aku sudah taruh sajadah duluan di baris pertama, urutan pertama. Pas aku tinggal wudhu dipindah ke belakang. Kan aku dateng duluan," aku memburu Bapak yang pulang tadarus dengan omelan panjang.
"Ya besok Adik datang lebih awal."
"Lho, tadi aku udah datang paling awal kok."
"Ya wudhunya di rumah, biar ndak pake ninggal sajadah."
"Bilangin pokoknya Bu Parni. Nakalan ituuu. Aku duluan kok," tetep bersikukuh Bu Parni salah.
Bapak cuma mesem melihat gadis ciliknya manyun lima (5) sentimeter. Hha.
Ya, kala itu, saya sudah naik level. Sudah berhenti tinggal di markas. Sudah mulai sholat lengkap, 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Dan siapa bilang kalau persaingan tidak berat seperti perebutan markas? Lebih berat. lawannya ibu-ibu sepuh, ibu-ibu guru ngaji, dan ibu-ibu teman main saya. Hha. Mana mungkin saya teriak-teriak minta mereka pergi? Jadi ya begitu. Ngomel ke Bapak sepulang tarawih kalau terusir. Trus besoknya datang lebih awal dan gak pergi kemana-mana demi mengamankan tempat paling depan. Biar dapat pahala sebesar unta kata Pak Guru Ngaji.
Nah, entah mengapa 3.5 tahun merantau di kota ini, saya belum pernah melihat ibu-ibu berebutan untuk menempati shaf paling depan. Tak pernah sekalipun saya dapati shaf yang tertata rapi. Selalu bolong di sana sini. Bagian belakang malah yang terisi penuh duluan. Menyisakan lubang besar di shaf depan. Belum lagi jika rakaat ke delapan selesai. Geruduuuuk. Pada pulang duluan, menyisakan lubang besar dimana-mana. Dan ajaibnya tidak ada yang bergerak maju mengisi lubang-lubang kosong itu.
Saya masih ingat ketika pertama kali tarawih di Masjid Agung, ketika pasukan delapan rakaat pulang, saya kebingungan. "Lho? kan belum witir, di sini delapan rakaat aja ya Bu?" tanya saya kepada ibu-ibu yang sedang melipat sajadahnya.
"23 kok Teh."
"Ohh.."
Mm. Kali itu, saya pulang seperti Laily kecil. Siap ngomel-ngomel. Tapi bukan ke Bapak. Ke Mas Pacar. Hha.
"Apa aku ngadep aja ke imam besarnya ya, RenKun? Gak bisa banget nih begini."
"Ya ndak papa dicoba aja.." jawabnya lempeng.
Tapi saya yang ciut sendiri. Ya kali. Anak rantau, baru beberapa bulan di kota orang, masih medok banget, tiba-tiba ngadep ke imam besar. Anaknya lemah. Hhu. Jadilah saya biarkan itu terjadi.
Padahal nih, kalo di musholla kami, imamnya, yang tidak lain tidak bukan adalah Bapak saya sendiri, kejemnya minta ampun. Suka marah-marah sebelum sholat tuh.
"Ayo dilurusin shafnya. Itu ibu-ibu gak usah ngikutin lebarnya sajadah. Dipepetin sama sebelahnya badannya. Mbak Mina, itu masih bisa nambah satu. Ayo maju yang di belakang."
Kadang saya rada malu kalo Bapak marahin ibu-ibu. Hha. Untung gak ditimpuk sama ibu-ibu kan yaa. Eh tapiii, setelah gede gini baru kerasa ya butuhnya. Baru tau juga kenapa kok perlu juga tuh imam bilangin makmumnya biar rapihin shaf sebelum shalat. Ada haditsnya ternyata :
"Tos, ayo yang laki-laki pindah ke dalam," timpal Bapak seraya mengusir Antos, teman kecilku, dari markas para gadis kecil.
Dan yang terjadi berikutnya adalah saya, Mbak Fia, Winda, dan teman-teman cewek yang lain gerudukan menuju spot itu. Spot andalan. Spot yang disediakan oleh para pengurus mushola bagi kami, para gadis kecil yang hobi cekikikan saat sholat.
source : http://konsultasifiqih.com |
Yass. Itu masa dimana saya masih hobi berisik, cekakak-cekikik saat sholat tarawih. Saat dimana tarawihnya bolong-bolong karena lelah. Shalat 4 rakaat, istirahat 2 rakaat, sholat lagi, istirahat lagi, dan begitu seterusnya. Cuma sholat witirnya yang gak pake istirahat (ya iya, Liiiil! Cuma 3 rakaat ini. hhe).
Di jaman itu sih gak ada namanya anak kecil diusir dari masjid atau mushola karena berisik. Yang ada sih diomelin ibu-ibu, dicubit, dipelototin, dan sejenisnya. Tapi kami tetap saja bandel. Besoknya tetap datang dengan riang dan mengulangi kesalahan yang sama : berisik. Wkwkwk. Mungkin sih, karena itu, para pengurus mushola memberi win-win solution. Yaitu memberi kami markas andalan. Letaknya di luar mushola, di pojok kanan, dilingkupi pagar sederhana yang terbuat dari bambu. Ih, jelek dong! Eihhh, sejuknya luar biasa meeen! Jadilah kami selalu berusaha menguasai tempat itu. Hhaha. Badung yaa?
Waktu berlalu, Laily kecil telah bertambah usianya. Mungkin ini terjadi saat saya duduk di kelas 3 SD, saya pulang tarawih dengan wajah murung,
"Paaak. Bu Parni lho nakalan. Masa' aku sudah taruh sajadah duluan di baris pertama, urutan pertama. Pas aku tinggal wudhu dipindah ke belakang. Kan aku dateng duluan," aku memburu Bapak yang pulang tadarus dengan omelan panjang.
"Ya besok Adik datang lebih awal."
"Lho, tadi aku udah datang paling awal kok."
"Ya wudhunya di rumah, biar ndak pake ninggal sajadah."
"Bilangin pokoknya Bu Parni. Nakalan ituuu. Aku duluan kok," tetep bersikukuh Bu Parni salah.
Bapak cuma mesem melihat gadis ciliknya manyun lima (5) sentimeter. Hha.
Ya, kala itu, saya sudah naik level. Sudah berhenti tinggal di markas. Sudah mulai sholat lengkap, 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Dan siapa bilang kalau persaingan tidak berat seperti perebutan markas? Lebih berat. lawannya ibu-ibu sepuh, ibu-ibu guru ngaji, dan ibu-ibu teman main saya. Hha. Mana mungkin saya teriak-teriak minta mereka pergi? Jadi ya begitu. Ngomel ke Bapak sepulang tarawih kalau terusir. Trus besoknya datang lebih awal dan gak pergi kemana-mana demi mengamankan tempat paling depan. Biar dapat pahala sebesar unta kata Pak Guru Ngaji.
Nah, entah mengapa 3.5 tahun merantau di kota ini, saya belum pernah melihat ibu-ibu berebutan untuk menempati shaf paling depan. Tak pernah sekalipun saya dapati shaf yang tertata rapi. Selalu bolong di sana sini. Bagian belakang malah yang terisi penuh duluan. Menyisakan lubang besar di shaf depan. Belum lagi jika rakaat ke delapan selesai. Geruduuuuk. Pada pulang duluan, menyisakan lubang besar dimana-mana. Dan ajaibnya tidak ada yang bergerak maju mengisi lubang-lubang kosong itu.
Saya masih ingat ketika pertama kali tarawih di Masjid Agung, ketika pasukan delapan rakaat pulang, saya kebingungan. "Lho? kan belum witir, di sini delapan rakaat aja ya Bu?" tanya saya kepada ibu-ibu yang sedang melipat sajadahnya.
"23 kok Teh."
"Ohh.."
Mm. Kali itu, saya pulang seperti Laily kecil. Siap ngomel-ngomel. Tapi bukan ke Bapak. Ke Mas Pacar. Hha.
"Apa aku ngadep aja ke imam besarnya ya, RenKun? Gak bisa banget nih begini."
"Ya ndak papa dicoba aja.." jawabnya lempeng.
Tapi saya yang ciut sendiri. Ya kali. Anak rantau, baru beberapa bulan di kota orang, masih medok banget, tiba-tiba ngadep ke imam besar. Anaknya lemah. Hhu. Jadilah saya biarkan itu terjadi.
Padahal nih, kalo di musholla kami, imamnya, yang tidak lain tidak bukan adalah Bapak saya sendiri, kejemnya minta ampun. Suka marah-marah sebelum sholat tuh.
"Ayo dilurusin shafnya. Itu ibu-ibu gak usah ngikutin lebarnya sajadah. Dipepetin sama sebelahnya badannya. Mbak Mina, itu masih bisa nambah satu. Ayo maju yang di belakang."
Kadang saya rada malu kalo Bapak marahin ibu-ibu. Hha. Untung gak ditimpuk sama ibu-ibu kan yaa. Eh tapiii, setelah gede gini baru kerasa ya butuhnya. Baru tau juga kenapa kok perlu juga tuh imam bilangin makmumnya biar rapihin shaf sebelum shalat. Ada haditsnya ternyata :
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ
“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk tegaknya sholat.” (HR Bukhary)
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ
“Luruskanlah shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat.” (HR Ibnu Majah)
So, Mbak, Teteh, Uni, Ibu, Budhe, Bulik, Mbah yang shalat tarawih berjamaah, yuk lurusin shaf-nya. Demi kebaikan bersama kok. ^.^
*saya sudah draft komik tentang ini tadi belom jadi. Nanti deh ditambahin ya..
0 komentar: